Skip to main content

NILAI KEBENARAN MENURUT PIKIRAN MANUSIA


NILAI KEBENARAN MENURUT PIKIRAN MANUSIA

Konsep tentang kebenaran dalam alam pikir manusia mungkin telah mengalami berbagai perubahan,  mulai dari masa Yunani Kuno  dengan  sophismenya,  hingga  masa  Post-Modern  dengan  ideologi relativismenya.  Sepanjang   sejarah,  para  filosof,  saintis,  seniman,  budayawan,   dan  siapa  saja  yang disebut   manusia,   selalu   mencoba   menemukan   dan  merumuskan   kebenaran   dengan   cara   dan jalannya  masing-masing.   Hasilnya,  betapapun  terkadang  jauh  dari  sesuatu  yang  disebut  benar, ternyata  mampu  mengubah  dunia menjadi  dunia seperti yang kita miliki hari ini. Dengan berbagai ilmu pengetahuan,  filsafat, seni, dan budaya yang terus berkembang,  setidaknya  kita tahu, betapa berharganya sesuatu yang bernama kebenaran itu.
Kebenaran  juga unik karena disadari ataupun tidak, bahkan seorang yang tak percaya akan   keberadaan   Tuhan   pun   masih   percaya   akan sebuah   kebenaran.   Seorang   atheis,   betapapun   ia membatasi  konsep  kebenaran  di dalam  dirinya  hanya  pada  yang  terindera,  tetap  percaya  bahwa keyakinannya   tentang   ketiadaan   Tuhan   itu   benar   adanya.   Ia  pun   tetap   percaya   bahwa   ada kebenaran universal yang menjadikan dunia mampu bertahan dari kehancuran hingga detik ini. Jika tak   ada  kebenaran   yang   dijaga   bersama   oleh   umat   manusia,   maka   dunia   akan   hancur   oleh perbuatan-perbuatan  segelintir   manusia   yang  keliru  dan  merusak.   Hal  ini  dikarenakan,   setiap manusia secara fitrah senang menemukan  kebenaran,  dan tidak menyukai terjadinya  sesuatu yang menurutnya   salah   atau   keliru.   Bahkan   pencuri   pun   tak   senang   jika   rumahnya   kecurian,   dan pembunuh  pun tak senang jika keluarganya  dibunuh orang lain. Ada nilai-nilai kebenaran  universal yang menjaga dunia tetap bertahan di tengah berbagai upaya merusaknya.
Lebih  jauh,  kebenaran  juga  istimewa  karena  ia memiliki  kekuatan  yang  tak sanggup  ditolak  oleh siapa  pun.  Kaum  sophis  dan  skeptik  yang  pada  titik  ekstrem  menolak  secara  mutlak  keberadaan konsep  kebenaran  pun,  ternyata  tak dapat  menolak  dan tak terasa telah  meyakini  kebenaran  konsep  pemikiran mereka sendiri.
Mereka setidaknya percaya bahwa mereka mampu menyampaikan  maksud mereka dengan benar lewat kata-kata,  dan mereka percaya orang lain memahami  dengan benar kata-kata yang  mereka  sampaikan.  Jika  tidak,  untuk  apa  mereka  berkata  mereka  tidak  tahu.  Saat  seorang sophis   berkata,   “saya  tidak   tahu”    atas  semua   pertanyaan   pun,   maka   setidaknya   ia  meyakini kebenaran  tentang  satu  hal,  yaitu  bahwa  ia  benar-benar   tidak  tahu.  Ia  meragukan   kebenaran, namun membenarkan keraguan. Sesuatu yang kontradiktif dalam logika kaum shopis.

Manusia  bisa  saja  ragu  akan  banyak  hal,  tetapi  ia  tak  bisa  ragu  akan  adanya  kebenaran itu sendiri.  Tanpa keyakinan akan adanya kebenaran, manusia mungkin akan mati. Bukan mati dalam artian jiwa yang kekal  meninggalkan  tubuh  yang  fana,  tapi  jiwa  itu  sendiri  yang  mati  walaupun  masih  berada  di dalam tubuh yang hidup dan bernyawa. Dengan jiwa yang mati, manusia tak mampu membedakan yang  benar  dan  yang  salah.  Ia  tak  akan  mencapai  kualitas  kemanusiaannya  jika  ia  tak  meyakini adanya sebuah kebenaran, dan hanya akan menjalani hidup layaknya makhluk bernyawa lainnya.
Para  saintis  akan  berhenti  dari  aktivitas  mencari  dan  menemukan  banyak  hal,  jika  mereka  tidak percaya   bahwa   pengetahuan    dan   kebenaran   dapat   diraih.   Tak   ada   gunanya   mencari   ilmu pengetahuan  jika  tidak  bertujuan  menemukan  kebenaran.  Sia-sialah  mencari  sesuatu  yang  kita yakin akan ketiadaannya. Saintis setidaknya tahu bahwa di tengah berbagai keraguannya, ada kebenaran yang dapat dicapainya, walaupun ia tidak tahu bagaimana bentuk kebenaran yang akan ditemukannya   kelak.   Bahkan,   para   saintis   menerapkan   persyaratan-persyaratan  validitas   dan reliabilitas  yang  sangat  ketat  untuk  mampu  membedakan  apa yang  benar  (what’s  right)  dari apa yang ‘rasanya’ benar (what feels right).
Sains yang telah telanjur  membatasi  sumber  kebenaran  hanya pada diri manusia  itu sendiri,  yaitu indera  dan  rasio,  juga  telah  mengakibatkan  pemahaman  tentang  kebenaran  itu  sendiri  menjadi semata-mata  tentatif  dan  putatif.  Kebenaran  di dalam  sains  menjadi  terbatas,  karena  alat  untuk mencapai  kebenarannya   dibatasi  hanya  berdasarkan  indera  dan  rasio.  Kebenaran  saintifik  yang tentatif   ini  terus  bergerak   dan  berubah,   bisa  jadi  bergerak   mendekati,   atau  malah   menjauhi kebenaran mutlak. Benar jika dikatakan sains yang deterministik  atas sumber ilmu itu memiliki nilai kebenaran yang relatif. Namun, menjadi tidak tepat jika disimpulkan bahwa seluruh kebenaran yang ada di dunia ini sama relatifnya dengan kebenaran saintifik. Di luar sains, ada kebenaran-kebenaran lain yang bisa jadi justru lebih universal dan timeless dibandingkan kebenaran-kebenaran saintifik.
 Kebenaran   di  dalam  sains  yang  menjadikan   manusia  sebagai  satu-satunya   standar  kebenaran, ternyata   juga   berimbas   pada   dituntutnya   keterbukaan   di  dalam   setiap   pandangan   mengenai kebenaran.  Tidak ada satu pihak pun yang berhak menyalahkan  pihak lain, karena masing-masing dianggap  memiliki  sudut  pandangnya  sendiri-sendiri.  Padahal,  tidak  semua  sudut  pandang  dapat sama diandalkannya  dalam meraih kebenaran.
Sudut pandang  bisa jadi berpihak  pada kebenaran, namun bisa juga berpihak pada hal lain di luar kebenaran  itu sendiri, misalnya rasa malu mengakui kesalahan dan gengsi di kalangan saintis, kesetiaan pada mazhab sains yang telah mengakar, kepentingan-kepentingan politik tertentu, dan hal-hal lain di luar kebenaran itu sendiri. Contoh yang paling mudah terlihat saat ini adalah adanya kubu-kubu yang bertolak belakang memandang permasalahan global warming.
Saintis yang berpandangan  dampak pemanasan global telah nampak dan merusak bumi bertentangan secara diametral dengan saintis yang atas pesanan pihak-pihak tertentu  menyatakan   bahwa  kerusakan  yang  terjadi  tidaklah  sebesar  yang  dihembuskan   pihak lawan. Masing-masing  membawa bukti-bukti yang dikumpulkan untuk memperkuat pandangannya, bahkan  pada  tahap  yang  ekstrem   dapat  terjadi,  the  data  are  made  to  fit  the  theory.
Apa itu Kebenaran?
Pada  akhirnya,   yang  paling  masuk  akal  menurut   saya  pribadi  adalah  bahwa  di  dunia  ini  ada kebenaran  mutlak, dan ada kebenaran  relatif. Manusia bisa mengetahui  kebenaran  mutlak, karena manusia dibekali tidak hanya indera dan rasio, namun juga akal budi, hati nurani, intuisi, iman, dan rasa  yang  menjadi  satu  entitas  jiwa  yang  utuh  di  dalam  diri  manusia.  Manusia  bisa  mengetahui bahwa   dirinya   manusia,   dan  mampu   membedakan   dirinya   dari  kuda,   ayam,   pohon,   air,  dan sebagainya    pun   dapat   disebut    sebagai   kebenaran    mutlak.   Sebenarnya    banyak   kebenaran- kebenaran  sederhana  dan mendasar  yang bernilai mutlak yang kita ketahui, dan mungkin saja ada jauh lebih banyak lagi kebenaran-kebenaran mutlak yang tidak kita ketahui di dunia ini.
Di dalam Islam terdapat dua istilah yang berbeda untuk kebenaran mutlak yang berasal dari wahyu (al- haqq) dan kebenaran relatif yang berasal dari pemikiran dan interpretasi  (al-shawwab).  Perbedaan- perbedaan  pendapat  di dalam ranah al-shawwab,  sebagai  contoh perbedaan  empat mazhab  fikih, diakui  dan  diterima   keberadaannya   setelah  melewati  uji  validitas  berdasarkan   sumber-sumber hukum utama. Sementara itu, penyimpangan yang mendasar terhadap al-haqq, seperti meniadakan Tuhan, dianggap batil dan keliru. Inilah tingkatan kebenaran. Dalam Islam, kebenaran itu bersumber dari Allah melalui wahyu-Nya. Islam menafikan kebenaran relatif.
            Di  dunia  sains,  kebenaran  seluruhnya  tampak  bernilai  relatif  karena  sains  telah  membatasi  diri hanya menerima sumber kebenaran dari indera dan rasio yang juga memiliki keterbatasan- keterbatasan. Wajar jika kemudian perubahan yang terjadi secara terus-menerus  membuat manusia berpikir bahwa kebenaran di dalam sains pun terus berubah seiring waktu. Hanya saja, karakteristik kebenaran sains yang relatif ini tidak lantas berlaku untuk kebenaran-kebenaran di luar ranah sains yang  diperoleh  dari  sumber-sumber  di luar  indera  dan  rasio.  Sains  perlu  berhati-hati  untuk  tidak melakukan  over-generalisasi  dan  pemastian-pemastian di luar  batas  kemampuannya.  Lebih  jauh, karakteristik   relativitas   kebenaran   sains  ini  juga  bukan  menjadi   legitimasi   untuk  memaksakan kepada   manusia   untuk  menerima   semua   pandangan   sebagai   kebenaran,   karena   seperti   telah disebutkan sebelumnya, hanya pernyataan-pernyataan yang lebih mampu melukiskan kompleksitas realitas, lebih mampu menangkap aspek-aspek signifikan, lebih representatif, dan dapat dipertanggungjawabkanlah yang patut diterima sebagai kebenaran di dalam sains.

 Demikianlah   paparan  dari  proses  refleksi  dan  renungan   penulis  setelah  mengikuti   perkuliahan Filsafat Ilmu Pengetahuan, semoga keterbatasan penulis dalam memandang hakikat ilmu dan kebenaran dapat dimaklumi akibat terbatasnya pengetahuan dan pemahaman penulis.

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH PENGETAHUAN DASAR KOMPUTER

PENGETAHUAN DASAR KOMPUTER DISUSUN OLEH:               NAMA              :                NPM                  :                MK                    : APLIKASI KOMPUTER               DOSEN             :                                       , M.Kom            ...

LAPORAN OBSERVASI DAN WAWANCARA TK AL- REZA

LAPORAN OBSERVASI DAN WAWANCARA TK AL- REZA DISUSUN OLEH: NAMA              :          NPM                 :          DOSEN             :           PRODI              :         PG-PAUD FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS ALMUSLIM BIREUEN 2019 KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warohmatullahi wabaraokatuh Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga dapat melaksanakan observasi dan menulis laporan hasil observasi tepat pada waktunya. Dan ucapan terimakasi...

STUDI KASUS MISKOMUNIKASI ANTARA PIMPINAN DAN KARYAWAN PT CAHAYA MITRA UTAMA

STUDI KASUS MISKOMUNIKASI ANTARA PIMPINAN DAN KARYAWAN PT CAHAYA MITRA UTAMA DISUSUN OLEH : NAMA            :  NPM                :  MK                  : KEPEMIMPINAN PRODI            : ADMINISTRASI BISNIS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ALMUSLIM BIREUEN 2019 Studi Kasus : Miskomunikasi antara pimpinan dan karyawan PT Cahaya Mitra Utama Miskomunikasi adalah salah satu akibat dari proses komunikasi yang tidak bisa diterima baik oleh kedua pihak, yang menyebabkan tujuan atau misi dari komunikasi tersebut tidak tercapai. Miskomunikasi biasa terjadi pada komunikasi antara kedua pihak. Miskomunikasi biasanya dikarenakan salah satu pihak tidak mengerti de...