FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBANGUNAN DESA DAN KOTA (Studi kasus terjadinya perluasan kota di Bandung)
(Studi kasus
terjadinya perluasan kota di Bandung)
Pola dan kekuatan interaksi antara dua wilayah atau lebih sangat
dipengaruhi oleh keadaan alam dan sosial daerah tersebut, serta kemudahan yang
mempercepat proses hubungan kedua wilayah itu. Menurut Edward Ullman, ada tiga
faktor utama yang mendasari atau memengaruhi timbulnya interaksi antarwilayah
pembangunan kota dan desa, yaitu sebagai berikut:
a)
Adanya
Wilayah-Wilayah yang Saling Melengkapi (Regional Complementary)
Regional Complementary adalah
terdapatnya wilayah-wilayah yang berbeda dalam ketersediaan atau kemampuan
sumber daya. Di satu pihak ada wilayah yang kelebihan (surplus) sumber daya,
seperti produksi pertanian dan bahan galian, dan di lain pihak ada daerah yang
kekurangan (minus) jenis sumber daya alam tersebut. Adanya dua wilayah yang
surplus dan minus sumber daya tersebut sangat memperkuat terjadinya interaksi,
dalam arti saling melengkapi kebutuhan, di mana masing-masing wilayah berperan
sebagai produsen dan konsumen.
b)
Adanya Kesempatan
untuk Berintervensi (Intervening Opportunity)
Kesempatan berintervensi dapat
diartikan sebagai suatu kemungkinan perantara yang dapat menghambat timbulnya
interaksi antarwilayah. Sebenarnya secara potensial antara wilayah A dan B
sangat memungkinkan terjalin interaksi karena masing-masing wilayah memiliki
kelebihan dan kekurangan sumber daya sehingga dapat berperan sebagai produsen
dan konsumen. Namun karena ada wilayah lain, yaitu C yang menyuplai kebutuhan
wilayah A dan B maka kekuatan interaksi antara A dan B menjadi lemah. Dalam hal
ini, wilayah C berperan sebagai intervening area atau wilayah perantara. Intervening
opportunity dapat pula diartikan sebagai sesuatu hal atau keadaan yang dapat
melemahkan jalinan interaksi antarwilayah karena adanya sumber alternatif
pengganti kebutuhan.
c)
Adanya
Kemudahan Transfer atau Pemindahan dalam Ruang (Spatial Transfer Ability)
Faktor yang juga memengaruhi
kekuatan interaksi adalah kemudahan pemindahan manusia, barang, jasa, gagasan,
dan informasi antara satu wilayah dan wilayah lainnya. Kemudahan pergerakan
antarwilayah ini sangat berkaitan dengan:
1.
Jarak
antarwilayah, baik jarak mutlak maupun relatif
2.
Biaya
transportasi
3.
Kemudahan dan
kelancaran prasarana dan sarana transportasi antarwilayah.
Sebelum tahun 1971, Bandung telah menyusun
suatu master plan sebagai alat untuk melakukan terapi
penyelesaian masalah kota yang dikenal sebagai ‘Rencana Struktur Kota Bandung.
Tahun 1971 telah dikembangkan ‘Rencana Induk Kotamadya Bandung 1971-1991.
Kemudian pada tahun 1985 telah disusun ‘Rencana Induk Kota’ (RIK) tahun
1985-2005 yang lengkap dengan ‘Rencana Bagian Wilayah Kota’ (RBWK) bagi wilayah
Bojonagara, Cibeunying, Karees, Tegallega, dan Wilayah Pusat Kota, disertai
dengan ‘Rencana Terperinci Kota’ (RTK) untuk beberapa bagian kawasan kegiatan
kota. Pada tahun 1974 telah dikembangkan suatu konsepsi memberikan arahan untuk
mengurangi beban Kota Bandung, melalui suatu pendekatan pengembangan wilayah,
yang ditujukan untuk mendorong kota-kota kecil di sekitar Bandung berperan
sebagai "semberani sandingan" (Djoko Sujarto, "Masalah dan
Perkembangan Kota Bandung", 1988). Berdasarkan PP No. 16 Tahun 1987,
wilayah administrasi Kotamadya Bandung diperluas dari 8.098 menjadi 17.000 ha.
Selain dari perangkat rencana pembangunan kota tadi, kelengkapan peraturan
daerah dan undang-undang yang berkaitan dengan pembangunan kota, sementara ini
telah cukup memadai sebagai bekal penataan Kota Bandung. Namun bila kita mau bersikap jujur, kendati Bandung telah meraih
predikat "Adipura" (julukan kota terbaik di Indonesia), namun sampai
kini masih terasa dan ditemui kejanggalan-kejanggalan dalam penataan kota ini. Terutama bila kita persoalkan tentang wajah
arsitektur dari Kota Kembang ini. Kesalahan atau problemnya terdapat pada: (1) kesalahan dalam pemahaman
konsepsi, (2) 'sistem pengelolaan kota' atau 'urban management', (3) kurang
cepat mengantisipasi aspirasi kebutuhan masyarakat.
Dalam suatu wawancara dengan radio 'KLCBS' di
awal tahun 1988 yang lalu, Bapak Wali Kotamadya Bandung, Ateng Wahyudi
menyatakan, bahwa dalam pengaturan dan pembangunan kota, Pemda condong
menerapkan penataan gaya Inggris, yang memberi peluang terjadinya ‘fungsi
campuran’ atau mixed zoning di sementara kawasan Kota Bandung. Beranjak dari pemilihan konsep tersebut, maka
dalam buku "Rencana Induk Kota 1985-2005" kita temukan
istilah—daerah dengan fungsi diambangkan. Maksudnya, suatu wilayah kota
yang masih belum jelas fungsi dan peruntukannya, ditunggu dalam periode
tertentu, hingga jelas bentuk kegiatan dominan di kawasan tersebut. Lalu,
ditetapkan fungsi wilayah tersebut secara tetap dan pasti. Jadi menurut Ir.
Djoko Sujarto M.Sc., dosen pada jurusan Planologi ITB yang ikut menangani
penyusunan RIK Bandung, tidak ada kawasan kota yang secara permanen
terus-terusan diambangkan fungsinya. Semua
mengenal waktu!
Menurut Djoko Sujarto, buat mengenal kawasan
yang diambangkan atau floating area perlu dilengkapi dengan wahana kebijakan
sebagai berikut: (1) Pemda harus memiliki perangkat pengendali secara
terus-menerus memantau aktivitas ekonojmi dan perubahan yang terjadi pada
wilayah yang diambangkan itu. (2) Status fungsi diambangkan mengenal batas, 20 tahun
umpamanya, sebelum ditentukan secara pasti fungsi peruntukannya. (3) Dalam proses
penataan kota harus ada kesinambungan kebijakan. Jangan sampai terjadi, seperti
apa yang dikatakan oleh Menteri PU, Ir. Radinal Moochtar,
"pembangunan kota sering kali cuma mengikuti selera pimpinan
daerah". Sehingga acapkali terjadi, ganti wali kota.
Konsep ‘wilayah diambangkan’ terkadang kurang
dipahami oleh pihak pengelola kota, ungkap Ir. Mochtarram Karyoedi, rekan Djoko
Sujarto di Planologi ITB. Bila Kota Bandung dibagi dalam tiga lingkaran
konsentris, maka akan terdapat: (1) kawasan pusat kota (central business
district "CBD") atau ‘inti kota’ (2) kawasan sub-inti (sub-center),
(3) kawasan pinggiran kota (periphery). Pembangunan dan penataan ruang kawasan
pusat kota dilakukan dengan ketat, dan peruntukannya telah mantap dan pasti. Sedangkan,
kawasan sub-center masih toleran terhadap fungsi campuran. "Namun ini
bukan berarti bebas membangun segala jenis macam jenis kegiatan, tanpa
mempertimbangkan harmoni dan penyesuaian (compatible) terhadap lingkungan yang
telah ada," ujar Mochtarram pula.
Kesalahan dalam pemahaman konsep ‘wilayah
diambangkan’ terlihat pada kawasan sub-center Jl. Sumatera. Pada ruas jalan itu
terhadap pusat perbelanjaan (Bandung Indah Plaza) yang berhampiran dengan
kompleks militer (bangunan Kodam Siliwangi). Sedang di ujung selatan Jl. Sumatera, sebuah kompleks hiburan
(Cinemaplex) dibangun berhadapan dengan rumah sakit yang memerlukan suasana
tenang dan tentram.
Comments
Post a Comment