Skip to main content

STILISTIKA DAN SEMIOTIKA


PENGERTIAN STILISTIKA

1.      Turner (dalam Pradopo, 1993: 264) mengartikan stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa yang merupakan bagian linguistik yang memusatkan pada variasi-variasi penggunaan bahasa tetapi tidak secara eksklusif memberikan perhatian khusus kepada penggunaan bahasa yang kompleks pada kesusastraan.
2.      Menurut Sudjiman (1993: 13), pengertian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Dengan demikian style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa.
3.      Endaswara (2003:72) menyebutkan stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa suatu karya sastra. Selanjutnya dikatakan ada dua pendekatan analisis stilistika: “(1) dimulai dengan analisis sistem tentang linguistik karya sastra, dandilanjutkan ke interpretasi tentang ciri-ciri sastra, interpretasi diarahkan ke makna secara total; (2) mempelajari sejumlah ciri khas yang membedakan satu sistem dengan sistem lain”.
4.       Fananie (2000: 25) mengemukakan stilistika atau gaya merupakan ciri khas pemakaian bahasa dalam karya sastra yang mempunyai spesifikasi tersendiri dibanding dengan pemakaian bahasa dalam jaringan komunikasi yang lain. Gaya tersebut dapat berupa gaya pemakaian bahasa secara universal maupun pemakaian bahasa yang merupakan kecirikhasan masing-masing pengarang.
5.      Definisi Stilistika menurut Ratna (2009: 167) secara definisi stilistika adalah ilmu yang berkaitandengan gaya dan gaya bahasa. Tetapi pada umumnya lebih mengacu pada gaya bahasa. Dalam bidang bahasa dan sastra stilistika berarti cara-cara penggunaan bahasa yang khas sehingga menimbulkan efek tertentu yang berkaitan dengan aspek-aspek keindahan. 
6.      Definisi Stilistika menurut Teeuw (dalam Fananie, 2000: 25) stilistika merupakan sarana yang dipakai pengarang untuk mencapai suatu tujuan, karena stilistika merupakan cara untuk mengungkapkan pikiran, jiwa, dan kepribadian pengarang dengan cara khasnya. 



PENGERTIAN SEMIOTIKA

1.      Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
2.      Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut. 
3.      Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006).
4.      Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100).
5.      Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006)
KAJIAN STILISTIKA DALAM KARYA SASTRA

Gaya diartikan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam kreasi penulisan sastra, efek tersebut terkait dengan upaya pemerkayaan makna, baik penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun pemberian efek emotif tertentu bagi pembacanya (Aminnudin, 1995: v).
Dalam aplikasinya, pemanfaatan gaya bahasa dalam karya sastra sangat bergantung kepada individuasi sastrawan yang dipengaruhi oleh latar sosiohistoris masing-masing. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa gaya bahasa itu bersifat pribadi atau yang mencerminkan orangnya.
Konsep klasik menganggap gaya bahasa sebagai bungkus atau gagasan sehingga konsep itu membedakan bahasa karya sastra sebagai isi gagasan (subject matter/ content) dan bungkusnya (manner/ expession). Komunikasi modern, gaya bahasa bukan hanya dihubungkan dengan penggunaan bahasa yang indah, melainkan juga merujuk pada isi yang diembannya.
Style ‘gaya bahasa’ menurut Sudjiman (1995: 13) mencakup diksi (pilihan kata/ leksikal), struktur kalimat, majas, dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra. 
Aspek-aspek Stilitiska dalam Kajian Karya Sastra
1. Gaya Bunyi (Fonem)
Fonem atau bunyi bahasa merupakan unsur lingual terkecil dalam satuan bahasa yang dapat menimbulkan dan/atau membedakan arti tertentu. Fonem terbagi menjadi vokal dan konsonan. Dalam karya sastra genre puisi, fonem merupakan aspek yang memegang peran penting dalam penciptaan efek estetik.
Timbulnya irama indah yang tercipta dalam puisi, misalnya karena adanya asonansi dan aliterasi itu akan menimbulkan orkestrasi bunyi yang menciptakan nada dan suasana tertentu.
2. Gaya Kata (Diksi)
Diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dilakukan oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan efek makna tertentu. Kata merupakan unsur bahasa yang paling esensial dalam karya sastra. Karena itu, dalam pemilihannya para sastrawan berusaha agar kata-kata yang digunakannya mengandung kepadatan dan intensitasnya serta agar selaras dengan sarana komunikasi puitis lainnya.
Diksi adalah kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide yang meliputi persoal fraseologi, majas, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan. Diksi adalah penentuan kata-kata seseorang untuk mengungkapkan gagasannya. Dengan demikian diksi dalam konteks sastra merupakan pilihan kata pengarang untuk mengungkapkan gagasannya guna mencapai efek tertentu dalam sastranya.
Kata adalah satuan bahasa yang paling kecil yang merupakan lambang atau tanda bahasa yang bersifat mandiri secara bentuk dan makna. Kata-kata yang dipilih pengarang merupakan kata-kata yang dianggap paling tepat dalam konteks karya sastra tersebut. Pengubahan kata-kata dalam baris-baris dalam sebuah karya sastra dengan kata-kata yang lain dapat mengubah kesan total yang dibentuk karya sastra tersebut.
Makna kata bergantung pada penuturnya. Demikian pula, pemanfaatan diksi dalam karya sastra merupakan simbol yang mewakili gagasan tertentu, terutama dalam mendukung gagasan yang ingin diekspresikan pengarang dalam karya sastranya. Sastrawan dituntut cermat dalam memilih kata-kata karena kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisinya dalam kalimat dan wacana, kedudukan kata tersebut di tengah kata lain, dan kedudukan kata dalam keseluruhan karya sastra.
Kata konotatif adalah kata yang mengandung makna komunikatif yang terlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan atas perasaan dan atau pikiran pengarang atau persepsi pengarang tentang sesuatu yang dibahasakan. Kata konkret mengandung makna yang merujuk pada pengertian langsung atau memiliki makna harfiah, sesuai dengan konvensi tertentu. Nama diri atau sapaan, nama dapat diartikan sebagai kata yang berfungsi sebagai sebutan untuk menunjukkan orang atau sebagai penanda identitas seseorang. Nama diri atau sapaan selain berfungsi sebagi penanda identitas, juga dapat merupakan simbol.
Kata serapan adalah kata yang diambil atau dipungut dari bahasa lain, baik bahasa asing maupun bahasa daerah, baik mengalami adaptasi struktur, tulisan, dan lafal, maupun tidak dan sudah dikategorikan sebagai kosa kata bahasa Indonesia. Kata vulgar merupakan kata-kata yang tidak intelek, kurang beradap, dipandang tidak etis, dan melanggar sopan santun atau etika sosial yang berlaku dalam masyarakat intelek atau terpelajar. Kata dengan objek realitas alam adalah kata yang memanfaatkan realitas alam sebagai bentukan kata tertentu yang memiliki arti.
3. Gaya Kalimat (Sintaksis)
Kalimat ialah penggunaan suatu kalimat untuk memperoleh efek tertentu, misalnya infers, gaya kalimat tanya, perintah, dan elips. Sebuah gagasan atau pesan (struktur batin) dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat (struktur lahir) yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Karena dalam sastra pengarang memiliki kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa (licentia poetica) guna mencapai efek tertentu, adanya bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar. Penyiasatan struktur kalimat itu dapat bermacam-macam wujudnya, mungkin berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu, dan sebagainya.
4. Gaya Wacana
Menurut Kridaklaksana (1988: 179), wacana ialah satuan bahasa terlengkap, yang memiliki hierarki tertinggi dalam gramatika. Gaya wacana ialah gaya bahasa dengan penggunaan lebih dari satu kalimat, kombinasi kalimat, baik dalam prosa maupun puisi. Gaya wacana dapat berupa paragraf (dalam prosa atau fiksi), bait (dalam puisi atau sajak), keseluruhan karya sastra baik prosa seperti novel dan cerpen, maupun keseluruhan puisi.
Gaya wacana dalam sastra adalah gaya wacana dengan pemanfaatan sarana retorika seperti repetisi, paralelisme, klimaks, antiklimaks, dan hiperbola serta gaya wacana campur kode dan alih kode. Gaya campur kode adalah penggunaan bahasa asing dalam bahasa sendiri atau bahasa campuran dalam karya sastra. Wacana alih kode adalah penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan pesan atau situasi lain atau adanya partisipan lain.
5. Bahasa Figuratif (Figurative Language)
Figurative berasal dari bahasa latin figura yang berarti form, shepe. Figura berasal dari kata fingere dengan arti to fashion istilah ini sejajar dengan pengertian metafora (Scott, 1980: 107). Bahasa kias pada dasarnya digunakan oleh sastrawan untuk memperoleh dan menciptakan citraan. Adanya tuturan figuratif atau figurave language menyebabkan karya sastra menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan angan (Pradopo, 1993: 62). Menurut Middleton (dalam Lodge, 1973: 49), tuturan figuratif dalam aplikasinya dalam berwujud gaya bahasa yang sering dikatakan oleh kritikus sastra sebagai uniqueness atau specialty (keistimewaan, kekhususan) seorang pengarang sehingga gaya bahasa merupakan ciri khas pengarang.
Bahasa figuratif merupakan retorika sastra yang sangat dominan. Bahasa figuratif merupakan cara pengarang dalam memanfaatkan bahasa untuk memperoleh efek estetis dengan pengungkapan gagasan secara kias yang menyaran pada makna literal (literal meaning). Bahasa figuratif dalam penelitian stilistika karya sastra dapat mencakup majas, idiom, dan peribahasa. Ketiga bentuk bahasa figuratif itu diduga cukup banyak dimanfaatkan oleh para sastrawan dalam karyanya.


a. Majas
Majas terbagi menjadi dua jenis, yakni (1) figure of thought: tuturan figuratif yangt terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan, dan (2) rethorical figure: tuturan figuratif yang terkait dengan penataan dan pengurutan kata-kata dalam kontruksi kalimat (Aminudin, 1995: 249). Pemajasan (figure of thought) merupakan teknik untuk pengungkapan bahasa, penggaya-bahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. 
Pemajasan menurut Scott (1980: 107) mencakup: 
1)      Metafora
Metafora adalah majas seperti simile, hanya saja tidak menggunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, laksana, seperti, dan sebagainya. Salah satu wujud kreatif bahasa dalam penerapan makna disebut metafora. Metafora merupakan bahasa figuratif yang paling mendasar dalam karya sastra, terlebih puisi (Cudoon, 1979: 275). Klasifikasi metafora: (1) Metafora Universal, (2) Metafora Terikat Budaya
Yang dimaksud dengan metafora universal adalah metafora yang memiliki medan semantik yang sama bagi sebagian besar budaya di dunia, baik lambang kias maupun makna yang dimaksudkan. Untuk menggambarkan medan semantik yang sifatnya universal yang terdapat dalam metafora (bahasa) Jawa, kita dapat mengacu pada sistematika yang telah diusulkan oleh Micael C. Haley (dalam Ching et.al. (Ed.), 1980: 139-154). 
Yang dimaksud dengan metafora terikat oleh budaya ialah metafora yang medan semantik untuk lambang dan maknanya terbatas pada satu budaya saja, dalam hal ini budaya Jawa misalnya. Dengan demikian, cerita yang dipakai untuk menentukan metafora yang terikat oleh budaya itu juga terbatas pada lingkungan fisik dan pengalaman kultural yang khas dimiliki oleh penutur asli bahasa Jawa saja.
Perkembangan makna majas secara diakronis
  1. Metafora Tak Berdaya: Metafora dikatakan sudah tak berdaya atau usang, mati jika makna harfiahnya tidak dapat dihubungkan lagi dengan makna majasnya (Keraf, 1991: 124; Trawgott, 1985: 22). 
  2. Metafora berdaya: Metafora dikatakan berdaya atau hidup jika makna harfiahnya dapat dihubungkan dengan makna majasnya. Oleh Trawgott (1985: 22) metafora berdaya dibagi dua yakni metafora konfensional dan metafora inovatif.
2)      Simile (Perbandingan)
Simile adalah majas yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, seperti, semisal, seumpama, laksana, ibarat, bak, dan kata-kata pembanding lainnya (Pradopo, 2000: 62).
3)      Personifikasi
Majas ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir, melihat, mendengar, dan sebagainya seperti manusia.
4)      Metonimia
Metonimia atau majas pengganti nama adalah penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut.
5)      Sinekdoki (Synecdoche)
Majas yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu hal atau benda itu sendiri disebut sinekdoki (Altebernd dan Lewis, 1970: 21).
b. Idiom
Konstruksi unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain disebut idiom. Yusuf (1995: 118), mengartikan idiom sebagai kelompok kata yang mempunyai makna khas dan tidak sama dengan makna kata per kata. Jadi, idiom mempunyai kekhasan bentuk dan makna di dalam kebahasaan yang tidak dapat diterjemahkan secara harfiah.
c. Peribahasa (Saying, Proverb)
Peribahasa ialah kalimat atau penggalan kalimat yang telah membeku bentuk, makna, dan fungsinya dalam masyarakat, bersifat turun temurun, dipergunakan untuk menghias karangan atau percakapan, penguat maksud karangan, pemberi nasihat, pengajaran atau pedoman hidup. Peribahasa dalam bahasa Indonesia kedudukan dan peran yang penting karena memiliki makna yang dalam. Bentuk peribahasa itu merupakan penuturan yang sering diucapkan sehari-hari, tetapi memiliki nilai estetik yang tinggi. Peribahasa menurut Kridalaksana (1988: 131), mencakup pepatah, ibarat (simile), bidal, perumpamaan dan pemeo.
6. Citraan (Imagery)
Citraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Menurut Sayuti (2000: 174), citraan dapat diartikan sebagai kata atau serangkaian kata yang dapat membentuk gambaran mental atau dapat membangkitkan pengalaman tertentu. Dalam fiksi citraan dibedakan menjadi citraan literal dan citraan figuratif.
Citraan literal tidak menyebabkan perubahan atau perluasan arti kata-kata sedangkan citraan figuratif (majas) merupakan citraan yang harus dipahami dalam beberapa arti. Citraan dalam karya sastra dapat mencerminkan kekhasan individual pengarangnya. Salah satu bentuk penciptaan kerangka seni adalah pemakaian bahasa yang khas melalui citraan. Citraan kata banyak digunakan dalam karya sastra, baik puisi, fiksi, maupun drama karena dapat menjadi daya tarik bagi indera melalui kata-kata. 
Burton (1984: 97) mengemukakan bahwa citraan kata dalam karya sastra merupakan daya penarik indera melalui kata-kata yang mampu mengobarkan emosi dan intelektual pembaca. Adapun fungsi citraan adalah untuk membuat atau lebih hidup gambaran dalam penginderaan dan pikiran, menarik perhatian, dan membangkitkan intelektualitas dan emosi pembaca dengan cepat.
Citraan kata dapat dibagi menjadi tujuh jenis yakni:
1)      Citraan Penglihatan (Visual Imagery)
Citraan yang timbul oleh penglihatan disebut citraan penglihatan. Citraan penglihatan ini juga sangat produktif dipakai oleh pengarang untuk melukiskan keadaan, tempat, pemandangan, atau bangunan.
2)      Citraan Pendengaran (Auditory Imagery)
Citraan pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran. Citraan pendengaran juga produktif dipakai dalam karya sastra.
3)      Citraan Gerakan (Movement Imagery/Kinaesthetic)
Citraan gerakan melukiskan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak dapat membuat sesuatu menjadi terasa hidup dan terasa menjadi dinamis.
4)      Citraan Perabaan (Tactile/Thermal Imagery)
Citraan yang ditimbulkan melalui perabaan disebut citraan perabaan. Berbeda dengan citraan penglihatan dan pendengaran yang produktif, citraan perabaan agak sedikit dipakai oleh pengarang dalam karya sastra.
5)      Citraan Penciuman (Smell Imagery)
Jenis citraan penciuman jarang digunakan dibanding citraan gerak, visual atau pendengaran. Citraan penciuman memiliki fungsi penting dalam menghidupkan imajinasi pembaca khususnya indera penciuman.

6)      Citraan Pencecapan (Taste Imagery)
Citraan ini adalah pelukisan imajinasi yang ditimbulkan oleh pengalaman indera pencecapan dalam hal ini lidah. Jenis citraan pencecapan dalam karya sastra dipergunakan untuk menghidupkan imajinasi pembaca dalam hal-hal yang berkaitan dengan rasa atau membangkitkan selera makan.
7)      Citraan Intelektual (Intellectual Imagery) 
Citraan yang dihasilkan melalui asosiasi-asosiasi intelektual disebut citraan intelektual. Dengan jenis citraan ini pengarang dapat membangkitkan imajinasi pembaca melalui asosiasi-asosiasi logika dan pemikiran.



KAJIAN SEMIOTIKA DALAM SASTRA

Membaca dan menilai sebuah karya sastra bukanlah sesuatu yang mudah. Setiap pembaca roman atau puisi, baik modern ataupun klasik pasti pernah mengalami kesulitan, merasa seakan-akan tidak memahami apa yang dikatakan ataupun dimaksudkan oleh pengarangnya. Serat juga memerlukan proses pemaknaan untuk mengetahui ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Menurut Todorov (1985: 9) tata sastra terlibat dalam kerangka semiotik umum yang menggabungkan penelitian yang bertolak belakang dengan tanda dalam karya sastra.
Karya sastra Jawa banyak yang menggunakan bentuk karya puisi, sedangkan yang sudah dikemukakan oleh Todorov menganalisis melalui hal yang tidak berhubungan dengan tanda. Teeuw menganalisis karya sastra dengan menggunakan pendekatan tanda-tanda yang ada di dalam karya sastra. Karya sastra Jawa tradisional sangat cocok dengan apa yang sudah dikemukakan oleh Teeuw. Teori yang sangat cocok dengan penelitian ini adalah teori yang dikemukakan Teeuw dibandingkan dengan Todorov yang mengkaji karya sastra dari hal yang tidak ada hubungannya dengan tanda.
Proses membaca yaitu memberi makna pada sebuah teks tertentu yang kita pilih atau yang dipaksakan kepada kitamerupakan proses yang memerlukan pengetahuan sistem kode yang cukup rumit, kompleks dan aneka ragam. Kode pertama yang harus dikuasai kalau ingin mampu memberi makna pada teks tertentu adalah kode bahasa yang dipakai dalam teks. Untuk memaknai sebuah karya sastra, Teeuw membagi simbol dalam tiga kode yaitu kode bahasa, kode sastra dan budaya.
a.        Kode Bahasa
Karya sastra dalam setiap bahasa yang digunakan memiliki keunikan tersendiri. Penggunaan bahasa dalam suatu karya sastra merupakan cerminan awal dalam karya sastra. Karya sastra tercipta oleh unsur kebahasaan yang digunakan di dalamnya. Keistimewaan bahasa yang digunakan dalam karya sastra secara luas menciptakan potensi bahasa dalam karya sastra tersebut. Penelitian menggunakan kode bahasa sangatlah penting perlu dipahami. Pertama, karena untuk memahami makna dalam karya sastra tersebut haruslah memahami konvensi bahasa yang digunakan.
Kode bahasa menganalisis unsur-unsur yang berupa tata bahasa dan kosakata, urutan kata dan struktur kalimat. Secara garis besar kode bahasa menjelaskan makna-makna kebahasaan. Penjelasan isi teks secara harfiah yaitu menjelaskan arti kata sacara leksikal atau arti yang paling mendasar, bukan arti turunan (deridatif). Agar berhasil mengapresiasikan sebuah karya sastra, pembaca perlu mengusasi kode bahasa, sebab pada dasarnya setiap karya sastra memiliki keunikan yang sebagian diantaranya diungkapkan melalui bahasa.
Keistimewaan struktur bahasa secara luas membatasi dan sekaligus menciptakan potensi karya sastra dalam bahasa tersebut. Penelitian sastra yang tidak memperhatikan bahasa sebagai acuan, tidak akan menghilangkan sesuatu yang hakiki dalam karya sastra tersebut. Bahasa bukan satu-satunya kerangka acuan yang ada di antara karya sastra, pencipta dan pembaca.
Bahasa dalam karya sastra telah dieksploitasi sedemikian rupa melalui proses kreatif guna mendukung fungsi tertentu. Untuk memahami maknanya, seseorang perlu memahami dulu konvensi bahasa umum, yang dimungkinkan oleh kaidah bahasa yang digunakan.
Dalam kode bahasa dapat diketahui bagaimana makna-makna yang terdapat dalam suatu karya sastra mengandung pesan baik secara tersurat maupu tersirat dengan memahami konvensi bahasa yang digunakan dalam karya sastra tersebut. Sehingga pembaca akan mudah memahami dan menemukan makna-makna yang ada dalam karya sastra.
Membaca dan menilai karya sastra itu bukan pekerjaan yang mudah, sebab diperlukan pengetahuan yang cukup tentang sistem kode yang rumit, kompleks, dan beraneka ragam. Berbagai kode yang harus dipahami oleh para pembaca sastra, adalah kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra. Kode bahasa perlu dikuasai oleh pembaca, agar dirinya berhasil dalam mengapresiasi karya sastra tersebut, sebab pada dasarnya setiap karya sastra itu memiliki keunikan yang sebagian di antaranya diungkapkan melalui bahasa.
Keistimewaan struktur bahasa secara luas membatasi dan sekaligus menciptakan potensi karya sastra dalam bahasa tersebut. Penelitian sastra yang tidak memperhatikan bahasa sebagai acuan ini tidak akan menghilangkan sesuatu yang hakiki dalam karya sastra, tetapi bahasa bukan satu-satunya kerangka acuan yang ada antara karya dan pencipta serta pembacanya. Bahasa dalam karya sastra telah dieksploitasi melalui proses kreatif untuk mendukung fungsi tertentu. Untuk dapat memahami maknanya, seseorang perlu memahami dahulu konvensi bahasa yang umum, yang dimungkinkan oleh kaidah tersebut.
Kode pertama yang harus dikuasai kalau ingin mampu memberi makna pada teks tertentu adalah kode bahasa yang dipakai dalam teks tersebut. Kode bahasa menganalisis unsur-unsur yang berupa tata bahasa dan kosakata, urutan kata, pilihan kata dan struktur kalimat. Secara garis besar kode bahasa menjelaskan makna-makna kebahasaan. Penjelasan isi teks secara harfiah yaitu dengan menjelaskan arti kata secara leksikal atau arti yang paling mendasar, bukan arti turunan (deridatif). Dalam kode bahasa dapat diketahui bagaimana makna-makna yang terdapat dalam suatu karya sastra yang mengandung ajaran baik yang tersurat maupun tersirat dengan memahami konvensi bahasa yang digunakan dalam karya sastra sehingga pembaca akan mudah memahami dan menemukan makna-makna yang ada dalam karya sastra.
b.    Kode Sastra
Selain harus mengetahui tentang kode bahasa mengkaji karya sastra haruslah juga memahami tentang ciri khas pembentuk dari karya sastra (Teeuw (1983: 14). Ciri khas karya sastra itu pastilah dimiliki oleh setiap karya sastra. Mengetahui ciri khas dalam suatu karya sastra perlu di analisis menggunakan kode sastra. Kode sastra adalah kode yang berhubungan dengan karakteristik suatu karya sastra, fungsi sastra, dan keindahan imajinatif dalam karya sastra.
Kode sastra merupakan kode yang berkenaan dengan unsur-unsur sastra. Dengan kata lain kode sastra memaparkan estetika sastra. Lain halnya dengan kode bahasa yang dapat dipahami secara langsung, untuk menganalisis kode sastra pembaca harus berimajenasi, membayangkan apa yang dibayangkan oleh pengarangnya. Antara kode sastra dan kode bahasa merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bahasa dengan segala sesuatunya adalah suatu yang diberikan, yang tidak dapat dihindari, tetapi yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
Kode sastra merupakan sistem yang cukup rumit dan sering kali bersifat hierarki dengan banyak variasinya, sehingga dalam pemberian makna melalui kode sastra pembaca harus benar-benar bisa berimajenasi dan membayangkan apa yang dipikirkan oleh pengarang yang berkaitan dengan estetika atau keindahan ketika karya sastra itu dibuat.
Menurut Teeuw, sesunggunya kode sastra tidak dapat dibedakan dengan kode budaya, meskipun begitu pada prinsipnya keduanya harus tetap dibedakan dalam kegiatan membaca dan memahami teks sastra. Kode pokok yang harus dipahami dalam mebaca karya sastra adalah kode bersastra yang tidak menghubungkan makna kata dan kalimat dengan keadaan atau peristiwa di dunia nyata. Dalam kode sastra ini pemberian makna dari pembaca menuntut semaca kreativitas yang membawa keluar kemampuan bahasanya sehari-hari.
Kode sastra adalah kode yang berkenaan dengan hakikat, fungsi sastra, karakteristik sastra, kebenaran imajinatif dalam sastra, sastra sebagai sistem semiotik, sastra sebagai dokumen sosial budaya, dan sebagainya. Menurut Teeuw (1991:14), sesungguhnya kode sastra itu tidak mudah dibedakan dengan kode budaya, meskipun begitu, pada prinsipnya keduanya tetap harus dibedakan dalam kegiatan membaca dan memahami teks sastra. Kode pokok yang harus dipahami dalam membaca karya sastra adalah kode bersastra yang tidak menghubungkan makna kata dan kalimat dengan keadaan atau peristiwa di dunia nyata. Dalam kode sastra ini pemberian makna dari pembaca menuntut semacam kreativitas yang membawa keluar kemampuan bahasanya sehari-hari.
Kode sastra yaitu menjelaskan isi teks yang dikaitkan dengan unsur-unsur sastra. Dengan kata lain bahwa kode sastra memaparkan estetika sastra. Kode sastra tidak seperti kode bahasa yang bisa dipahami secara langsung. Di dalam menganalisis kode sastra, harus bisa berimajinasi dan membayangkan apa yang dibayangkan oleh pengarang. Kode sastra masih berhubungan dengan rasa keindahan dalam memaknai suatu karya sastra. Keindahan adalah bagian dan wilayah pengalaman manusiawi. Namun demikian, dalam pemikiran filsafat, gejala keindahan juga merupakan salah satu paradoks terbesar.
Menurut Luxemburg dkk (1984: 177) dalam menyususn suatu susunan tematik pertama-tama adalah menggambarkan wajah si juru bicara dengan si pendengar. Bentuk dari wajah si juru bicara biasanya tertulis secara batiniah dalam puisi dan memiliki sifat monolog atau bisa dikatakan memiliki sifat mengungkapan suatu kejadian dengan sendiri. Paling penting juga dalam menyusun suatu susunan tematik yaitu waktu dan juga ruang. Waktu itu merupakan gambaran dari kapan pembuatan puisi tersebut, karena waktu sangatlah mempengaruhi apa yang ada didalam puisi. Misalkan, pembuatan puisi tersebut dibuat pada keadaan penjajahan Indonesia dari Belanda, maka di dalam puisi tersebut akan menceritakan tentang keinginan bebas, keinginan merdeka, keinginan memberontak, dan masih banyak lagi.
Ruang merupakan gambaran dimana karya sastra itu dibuat dan terkadang tempat itu akan muncul di dalam puisi yang dituliskan, karena ruang juga sangat berpengaruh terhadap pembuatan puisi. Misalnya, seorang penulis membuat puisi pada saat melakukan perjalanan jauh panjang dan melelahkan maka dalam puisi tersebut bisa juga disebutkan perjalanan tersebut dan dikatakan dalam puisi tersebut atau bisa juga ketika seorang penulis berada disuatu kota atau disuatu tempat seperti dalam sajak “Si Anak Hilang” yang ditulis oleh Sitor Situmorang, saat itu sang penulis sedang berada di danau sangat indah di Pulau Sumatra yaitu di Danau Toba sehingga sang penulis menuliskan sajaknya seperti ini :
Pada terik tengah hari
Titik perahu timbul di danau
Ibu cemas ke pantai berlari
Menyambut anak lama ditunggu
c.    Kode Budaya
Pemahaman dalam suatu karya sastra tidaklah mungkin tanpa adanya pengetahuan mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra tersebut. Kebudayaan yang ada didalamnya juga tidak dapat bisa langsung dipahami melalui kebahasaan dan kesustraannya. Kode budaya menjelaskan tentang keberadaan budaya yang ada pada saat karya sastra tersebut dibuat, misalnya karya sastra yang dibuat pada masa kerajaan berbeda dengan karya sastra yang dibuat pada masa kini.
Kode budaya adalah pemahaman terhadap latar kehidupan, konteks, dan sistem sosial budaya. Kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kehidupan sosial budaya pengarangnya. Karena itu, sikap dan pandangan pengarang dalam karyanya mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Pradopo (2001: 55-56), menyatakan bahwa karya sastra sebagai tanda terikat pada konvensi masyarakatnya, karena merupakan cermin realitas budaya masyarakat yang menjadi modelnya. Pemhaman sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan, sedikit banyaknya, mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra tersebut dan tidak langsung terungkap dalam sistem tanda bahasanya.
Kode budaya adalah pemahaman terhadap latar kehidupan, konteks dan sistem sosial budaya. Kelahiran sebuah karya sastra diprakondisikan oleh kehidupan sosial budaya pengarangnya. Karena itu, sikap dan pandangan pengarang mencerminkan kehidupan sosial dan budayanya.
Kode budaya menjelaskan isi teks yang dikaitkan dengan keberadaan budaya yang ada pada saat karya tersebut dibuat. Sebagai contoh karya sastra di masa kerajaan tertentu berbeda dengan karya sastra pada masa sekarang. Menganalisis kode budaya membutuhkan pemahaman tentang kebudayaan-kebudayaan yang menyelimuti sebuah karya sastra itu. Kode budaya mungkin bermacam-macam dan mungkin sangat berbeda dengan kode budaya sendiri, mungkin juga lebih dekat dengan yang sudah biasa bagi pembaca dalam kehidupan sehari-hari.
Menganalisis kode budaya membutuhkan pemahaman tentang kebudayaan-kebudayaan yang menyelimuti cerita. Sebuah contoh yang diambil dari Serat Wedhatama berikut ini.
Mingkar-mingkuring angkara,
Akarana karenan mardi siwi,
sinawung resmining kidung,
sinuba sinukarta,
mrih kretarta pakartining ngelmu luhung,
kang tumrap neng tanah Jawa,
agama agaming Aji
(Terjemahan: Jauhkan diri dan singkirkan sifat-sifat yang mementingkan kepentingan diri pribadi karena ingin memperoleh kepuasan dari hasil mendidik anak. (Nasihat ini) dirangkai dalam sebuah kidung yang mengasyikkan dan digubah dengan baik dan seindah mungkin. Tujuannya ialah agar supaya budi pekerti yang berlandaskan ilmu yang tinggi dan mulia (yang telah) diterapkan di Pulau Jawa, yakni agama, yang menjadi pegangan raja dapat terlaksana sebaik-baiknya). (sumber: Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, 1983)
Walaupun bahasa Jawa kutipan ini masih cukup jelas bagi manusia Jawa yang terdidik, namun dikehendaki pengetahuan kode budaya Jawa, secara implisit ataupun eksplisit untuk sungguh-sungguh dapat dipahami oleh manusia modern. Konsep-konsep seperti ngelmu luhung, angkara serta tugas fungsi pendidikan, peranan orang tua dan kedudukan sang raja hanya memperoleh maknanya yang tepat dalam rangka kebudayaan Jawa tradisional.
Teori sastra yang memahami karya sastra sebagai tanda itu adalah semiotik. Semiotik berasal dari bahasa Yunani Semeon yang berarti tanda. Hartoko dalam Taum, (1997: 41) mengatakan bahwa semotik adalah ilmu tentang tanda-tanda, sistem-sistem tanda, dan proses suatu tanda diartikan. Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang bersifat representatif, mewakili sesuatu yang lain berdasarkan konvensi tertentu. Konvensi yang memungkinkan suatu objek, peristiwa, atau gejala kebudayaan yang menjadi tanda itu disebut juga sebagai kode sosial. Tanda-tanda itu mempunyai arti dan makna, yang ditentukan oleh konvensinya, karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Karya sastra merupakan karya yang bermedium bahasa. Bahasa sebagai bahan sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai arti. Sebagai bahan sastra, bahasa disesuaikan dengan konvensi sastra, konvensi arti sastra yaitu makna (significanse).
Sementara Premingher (dalam Jabrohim, 2001: 98) mengemukakan bahwa studi sastra yang bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur karya sastra atau hubungan dalam antar unsur-unsurnya, akan dihasilkan bermacam-macam makna. Dalam puisi (sajak) satuan-satuan berfungsi itu di antaranya adalah satuan bunyi, kata, diksi dan bahasa kiasan, dan kalimat. Di samping itu di antara konvensi tambahan adalah persajakan, enjambement, tipografi, pembaitan, dan konvensi-konvensi lain yang memberi makna dalam sastra.

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH PENGETAHUAN DASAR KOMPUTER

PENGETAHUAN DASAR KOMPUTER DISUSUN OLEH:               NAMA              :                NPM                  :                MK                    : APLIKASI KOMPUTER               DOSEN             :                                       , M.Kom            ...

LAPORAN OBSERVASI DAN WAWANCARA TK AL- REZA

LAPORAN OBSERVASI DAN WAWANCARA TK AL- REZA DISUSUN OLEH: NAMA              :          NPM                 :          DOSEN             :           PRODI              :         PG-PAUD FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS ALMUSLIM BIREUEN 2019 KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warohmatullahi wabaraokatuh Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga dapat melaksanakan observasi dan menulis laporan hasil observasi tepat pada waktunya. Dan ucapan terimakasi...

STUDI KASUS MISKOMUNIKASI ANTARA PIMPINAN DAN KARYAWAN PT CAHAYA MITRA UTAMA

STUDI KASUS MISKOMUNIKASI ANTARA PIMPINAN DAN KARYAWAN PT CAHAYA MITRA UTAMA DISUSUN OLEH : NAMA            :  NPM                :  MK                  : KEPEMIMPINAN PRODI            : ADMINISTRASI BISNIS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ALMUSLIM BIREUEN 2019 Studi Kasus : Miskomunikasi antara pimpinan dan karyawan PT Cahaya Mitra Utama Miskomunikasi adalah salah satu akibat dari proses komunikasi yang tidak bisa diterima baik oleh kedua pihak, yang menyebabkan tujuan atau misi dari komunikasi tersebut tidak tercapai. Miskomunikasi biasa terjadi pada komunikasi antara kedua pihak. Miskomunikasi biasanya dikarenakan salah satu pihak tidak mengerti de...