HUKUM LINGKUNGAN
BAB I
PENDAHULUAN
Lingkungan
hidup yang baik dan sehat merupakan karunia Tuhan YME yang diberikan kepada
seluruh umat manusia tanpa terkecuali.Karenanya hak untuk mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah sama bagi semua manusia bahkan
mahluk hidup yang ada didunia.Dibalik kesamaan hak tersebut,tentunya adalah
kewajiban semua manusia juga untuk menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan
hidup ini.Kewajiban disini menjurus kepada semua tindakan,usaha,dan kegiatan
yang dilakukan oleh manusia baik secara individu maupun secara berkelompok guna
menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.Hal ini perlu dan wajib untuk
dilaksanakan karena kondisi lingkungan hidup dari hari ke hari semakin
menunjukkan penurunan kualitas yang cukup signifikan.
Tidak
hanya terjadi di Indonesia saja,masalah pencemaran dan pengrusakan lingkungan
hidup telah menjelma menjadi sebuah isu global yang diyakini secara
Internasional.Kondisi ini tentu saja memaksa tiap-tiap negara didunia untuk
memberikan kadar perhatian yang lebih dari biasanya terhadap masalah pencemaran
dan pengrusakan Lingkungan Hidup ini.Salah satu cara yang dilakukan oleh dunia
Internasional adalah melalui bentuk-bentuk kerjasama antar negara termasuk
mengadakan pertemuan-pertemuan Internasional terkait dengan masalah Lingkungan
Hidup.Dimulai dengan pertemuan Stockholm 1972 sampai dengan saat ini,dunia
Internasional telah sepakat menempatkan masalah Lingkungan Hidup sebagai salah
satu permasalahan Internasional yang mendesak untuk diselesaikan.Karena memang
dampak yang diberikan sebagai akibat dari pengrusakan dan pencemaran Lingkungan
Hidup ini telah mulai dirasakan oleh jutaan umat manusia didunia dan hal ini
juga diyakini akan berdampak sangat buruk pada generasi dunia dimasa mendatang.Kerusakan
Lingkungan Hidup memang dapat terjadi secara alami dalam bentuk bencana dan
sebagainya,namun juga dapat terjadi sebagai akibat dari ulah manusia yang tidak
mau dan tidak mampu untuk menjaga kelestarian fungsi Lingkungan Hidupnya
sendiri.
Alasan
yang sifatnya idiil,yaitu untuk mewujudkan pembangunan manusia seutuhnya
(Salim,1980:23).
Kondisi
ini disebabkan karena pada kenyataannya masih banyak sekali ditemukan berbagai
pencemaran dan pengrusakan Lingkungan Hidup yang terjadi di negara kita
ini.Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan terhadap pihak yang telah
melakukan pencemaran dan pengrusakan Lingkungan Hidup tersebut dilakukan
melalui jalur hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan
berlaku di negara Indonesia.Dalam hukum negara
Indonesia sendiri,masalah sengketa Lingkungan Hidup dapat diselesaikan dengan
beragam cara.Dimulai dari penyelesaian melalui jalur peradilan maupun diluar
jalur peradilan,mulai dari pelanggaran secara Pidana sampai dengan
bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan secara Perdata.Beragam cara ini
memberikan kesempatan dan pilihan kepada warga negara untuk menentukan proses
hukum terkait dengan berbagai bentuk kegiatan pencemaran dan pengrusakan
Lingkungan.
Berbagai
cara telah diupayakan oleh pemerintah termasuk dengan memperbaiki
instrument-instrumen hukum terutama yang terkait dengan Lingkungan Hidup.Salah
satu produk hukum terbaru yang disahkan oleh pemerintah adalah Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Undang-undang
yang mulai berlaku sejak Oktober 2009 dan tercatat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 ini menggantikan peran dari
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 ini diyakini memiliki tingkat
kelengkapan dan pembahasan yang lebih komprehensif jika dibandingkan dengan UU
No 23 tahun 1997,ini dikarenakan masih banyak celah-celah hukum yang
ditinggalkan oleh UU No 23 tahun 1997 tersebut.Salah satu hal yang paling
dinanti dari penerapan UU No 32 tahun 2009 ini adalah pada konteks penyelesaian
masalah pencemeran dan pengrusakan Lingkungan Hidup,tentang bagaimana bentuk
penyelesaiannya sampai dengan berbagai ancaman pidana terhadap para
pelanggarnya.
1.2 Perumusan
Masalah
Melalui
pembahasan singkat di Bab Pendahuluan mengenai permasalahan Lingkungan Hidup
khususnya mengenai pencemaran dan pengrusakan Lingkungn Hidup,maka penulis
mencoba mengambil dua hal yang sekira nya menjadi permasalahan dan memerlukan
pembahasan dalam makalah kali ini,yaitu :
1.
Bagaimana perbedaan antara UU No 23 Tahun 1997
dengan UU No 32 tahun 2009?
2.
Bagaimana penerapan UU No 32
Tahun 2009 terkait dengan penyelesaian sengketa hukum?
1.3 Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah
pengetahuan tentang hukum Lingkungan , perbedaan antara UU No 23 Tahun 1997
dengan UU No 32 tahun 2009 dan penerapan UU No 32 Tahun 2009 terkait dengan
penyelesaian sengketa hukum.
1.4 Manfaat
Manfaat dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah
pengetahuan tentang hukum Lingkungan yang berkembang di indonesia dan
mengetahui penjelasan perbedaan antara UU No 23 Tahun 1997 dengan UU No 32
tahun 2009 dan penerapan UU No 32 Tahun 2009 terkait dengan penyelesaian
sengketa hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perbandingan UU No 23/1997 dengan UU No 32/2009
Seperti halnya yang kita ketahui bersama,Undang-undang
Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan tercatat dalam
Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68 (TLN No 3699) dibuat untuk menggantikan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12 dan TLN Nomor 3215.Pada
dasarnya,UU No 23 Tahun 1997 telah menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan,dimana hal undang-undang ini merupakan penyempurnaan
terhadap undang-undang sebelumnya.Kemudian pemerintah memandang perlu untuk
mengeluarkan instrumen hukum yang baru guna menggantikan UU No 23 tahun 1997
mengingat berbagai perubahan situasi dan kondisi terkait permasalahan
Lingkungan Hidup yang terjadi di Indonesia.Karena itulah,perbedaan yang paling
mendasar dari UU No 23 Tahun 1997 dengan UU No 32 Tahun 2009 adalah adanya
penguatan pada UU terbaru ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan
pengelolaan Lingkungan Hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang
baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan
pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup serta penanggulangan dan
penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi,partisipasi,
akuntabilitas dan keadilan.
Undang-undang 32 tahun 2009 ini jira kita
lihat,memberikan kewenangan yang luas lepada pemerintah dalam hal ini Menteri
untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan dibidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup serta koordinasi dengan instansi lain. Hal ini
tidak ditemukan pada UU No 23 Tahun 1997,sehingga jira kita cermati unsur
pemerintahan daerah disini termasuk meliputi kekayaan alam yang dimiliki dan
berada pada statu daerah tertentu di Indonesia (Rina Suliastini,2009:3).Selain
itu pula,terkait dengan masalah otonomi daerah,undang-undang ini juga
memberikan kewenangan yang Sangay luas lepada pemerintah daerah dalam melakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing.Selain
itu pula seperti halnya yang dijelaskan dalam bagian penjelasan atas UU No 32
tahun 2009 pada point 8 bagian Pertama,dikatakn bahwa Undang-Undang ini juga
mengatur :
1)
Keutuhan unsur-unsur
pengelolaan lingkungan hidup;
2)
Kejelasan kewenangan antara
pusat dan daerah;
3)
Penguatan pada upaya pengendalian
lingkungan hidup;
4)
Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen
pengendalian;
5)
Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
6)
Kepastian dalam merespons dan
mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
7)
Penguatan demokrasi lingkungan
melalui akses informasi,akses partisipasi,dan akses keadilan serta penguatan
hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
8)
Penegakan hukum
perdata,administrasi,dan pidana secara lebih jelas;
9)
Penguatan kelembagaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif;
dan
10)
Penguatan kewenangan pejabat
pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.
Kemudian,jika kita lihat dari penjabaran pasal per pasal
maka hal-hal yang disampaikan oleh bagian penjelasan UU No 32 Tahun 2009
tersebut,akan terlihat lebih jelas dan gamblang.Diantaranya hal tersebut
hádala:
Penerapan ancaman pidana minimum disamping ancaman
hukuman maksimum.Pada UU No 23 tahun 1997,ketentuan pidana dimuat dalam Bab IX
tentang Ketentuan Pidana yang terdiri
dari 8 pasal,dimulai dari pasal 41 – 48. Pada pasal-pasal tersebut hanya
mengatur mengenai ancaman hukuman maksimum,ini berbeda dengan UU No 32 Tahun
2009 yang juga memperkenalkan ancaman hukuman minimum disamping maksimum yang
tercantum pada Bab XV Ketentuan Pidana.Dengan demikian diharapkan,pada semua
tindakan,usaha,dan kegiatan yang melanggar daripada Undang-undang ini
diharapkan ada acuan dalam pemberian hukuman oleh hakim dan bisa menghindari
berbagai bentuk putusan bebas ataupun putusan pengadilan yang tidak maksimal.
Perluasan alat bukti. Dari berbagai fakta sejarah yang
berkembang, modus-modus kejahatan dilakukan dengan berbagai cara dan tindakan
yang selalu berubah-ubah guna mengelabui proses penyidikan.Alat bukti yang
diatur pada pasal 184 KUHAP belum mewadahi mengenai berbagai pendukung alat
bukti semisal contoh melalui data elektronik.Dalam berbagai contoh kasus,bentuk
data elektronik seperti print out dan call data record ,tidak bisa
dikategorikan sebagai salah satu alat bukti.Sehingga UU No 32 Tahun 2009 pada
pasal 96 huruf (f) mengatur mengenai alat bukti lain yang meliputi informasi
yang diucapkan,dikirimkan,diterima atau disimpan secara elektronik,magnetik,
optik,dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman,atau informasi
yang dapat dibaca,dilihat dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau
tanpa bantuan statu sarana,baik yang tertuang diatas kertas,benda fisik apapun
selain kertas,atau yang terekam secara elektronik,tidak terbatas pada
tulisan,suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, simbol atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau
dibaca.
Penerapan asas Ultimum Remedium.Pada UU No 23 Tahun 1997
dikenal konsep asas Subsidiaritas yaitu bahwa hukum pidana hendaknya
didayagunakan apabila sangsi bidang hukum lain,seperti sanksi administrasi dan
sanksi perdata,dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak
efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat
perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan
masyarakat.Sedangkan pada asas ultimum remedium dikatakan bahwa mewajibkan penerapan penegakkan hukum pidana
sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum admnistrasi dianggap
tidak berhasil.Kaitan dengan hal ini,terlihat jelas bahwa pada UU No 23 Tahun
1997 memiliki berbagai macam rintangan guna mencapai kepada penegakan hukum
secara pidana,akan tetapi hal ini di persempit ruang geraknya melalui penerapan
asas Ultimum Remedium pada UU No 32 tahun 2009, sehingga diharapkan dengan
keluarnya UU No 32 Tahun 2009 ini bentuk pelanggaran pidana terhadap pencemaran
dan perusakan Lingkungan Hidup dapat ditegakan dengan seadil-adilnya.
2.2 Penerapan Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup di Indonesia
Penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup pada UU No 32
Tahun 2009 melengkapi dari undang-undang sebelumnya,sebagaimana yang tercantum
pada Bab XIII UU No 32 Tahun 2009 dikatakan bahwa Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan
(pasal 84 ayat 1).Pada bagian kedua tentang penyelesaian sengketa Lingkungan
Hidup diluar pengadilan,dikatakan pada pasal 85 (1) bahwa Penyelesaian sengketa
lingkungan hidup diluar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai :
1)
Bentuk dan besar nya ganti
rugi;
2)
Tindakan pemulihan akibat
pencemaran dan/atau peruskan;
3)
Tindakan tertentu untuk
menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
4)
Tindakan untuk mencegah
timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Bentuk-bentuk penyelesaian lingkungan hidup diluar
pengadilan ini menganut konsep Alternative Dispute Resolution (ADR),yang
dilakukan dalam wujud mediasi ataupun arbritasi.Dan pada bagian inilah peran
Polri dapat masuk dan ikut serta menjadi seorang mediator dalam pelaksanaan
mediasi.Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa ini memang memperkenankan untuk
hadirnya orang ketiga sebagai penengah dan bukan penentu kebijakan.
Sedangkan penyelesaian sengketa melalui peradilan diatur
pada bagian ketiga UU No 32 Tahun 2009 dan terdiri dari :
1)
Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
2)
Tanggung Jawab Mutlak
3)
Hak Gugat Pemerintah dan
Pemerintah daerah
4)
Hak Gugat Masyarakat
5)
Hak gugat Organisasi Lingkungan Hidup
6)
Gugatan Administratif
Akan
tetapi dibalik ini semua,UU No 32 Tahun 2009 mengenal apa yang dinamakan asas
Ultimum Remedium,yakni mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai
upaya terakhir setelah penegakan hukum administrasi dianggap tidak
berhasil.Yang mana penerapan asas ini,hanya berlaku bagi tindak pidana formil
tertentu,yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah,emisi,dan
gangguan.
Jika
dilihat dari penerapan hukum secara perdata,Hak gugat pemerintah dan pemerintah
daerah,hak gugat masyarakat dan hak gugat organisasi lingkungan hidup merupakan
bentuk-bentuk pengamalan konsep axio popularis,class action dan legal
standing.Konsep-konsep ini merupakan terobosan hukum yang sangat baik dalam
penerapannya.Penerapan hukum perdata ini juga diikuti engan berbagai
persyaratan seperti pelaksanaan hak
gugat oleh pemerintah bisa dilakukan oleh Kejaksaan,pelaksanaan clas action
yang dapat dilakukan oleh orang atau sekelompok orang dan pelaksanaan hak gugat
oleh organisasi Lingkungan yang harus memenuhi persyaratan organisasi sesuai
dengan apa yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2009 ini.Ancaman hukuman yang
ditawarkan oleh UU No 32 Tahun 2009 ini juga cukup komprehensif,misalkan
mengenai pasal-pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana dan perdata yang
mengancam setiap pelanggaran peraturan dibidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup,baik perseorangan,korporasi,maupun pejabat.Contoh yang paling
konkret adalah porsi yang diberikan pada masalah AMDAL.Sekurangnya terdapat 23
pasal yang mengatur mengenai AMDAL,tetapi pengertian dari AMDAL itu sendiri
berbeda antara UU No 32/2009 dengan UU No 23/1997,yakni hilangnya ”dampak
besar”.Hal-hal baru mengenai AMDAL yang termuat pada undang-undang terbaru ini
antara lain:AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
1)
Penyusunan dokumen AMDAL wajib
memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL;
2)
Komisi penilai AMDAL
pusat,Provinsi,maupun Kab/Kota wajib memiliki lisensi AMDAL;
3)
AMDAL dan UKL/UPL merupakan
persyaratan untuk penertiban izin lingkungan;
4)
Izin lingkungan diterbitkan
oleh Menteri,Gubenur,Bupati/Walokota sesuai kewenangannya.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas,ada pengaturan yang
tegas dan tercantum dalam UU No 32 Tahun 2009 ini ,yaitu dikenakannya sanksi
pidana dan sanksi perdata terkait pelanggaran bidang AMDAL. Hal-hal yang terkait dengan sanksi
tersebut berupa :
1)
Sanksi terhadap orang yang
melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan;
2)
Sanksi terhadap orang yang
menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat kompetensi;
3)
Sanksi terhadap pejabat yang
memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi dengan dokumen AMDAL atau
UPL/UKL
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Melalui berbagai pembahasan mengenai Undang-undang No 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat kita
ketahui bahwa Undang-undang ini merupakan bentuk penyempurnaan dari
Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,baik
dilihat dari segi hukum maupun administrasi.Penyempurnaan itu adalah adanya
penguatan pada UU terbaru ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan
pengelolaan Lingkungan Hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang
baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan
pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup serta penanggulangan dan
penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi,partisipasi,
akuntabilitas dan keadilan. Bentuk penguatan tersebut dilihat dari aspek lama
pidana,perluasan alat bukti yang ada,dan pengembangan asas Ultimum Remedium.
3.2 Saran
Saran saya agar penerapan asas hukum pada undang-undang
ini juga tetap mengedepankan bentuk-bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR)
melalui jalur pengadilan maupun melalui jalur pengadilan.Jalur pengadilan juga
dapat dibedakan lagi menjadi penerapan hukum pidana ataupun penerapan hukum
perdata. Penerapan hukum perdata dilakukan melalui ganti kerugian dan pemulihan
lingkungan,tanggung jawab mutlak,hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah,hak
gugat masyarakat dan hak gugat organisasi lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang
No 8 tahun 1981 tentang KUHAP
Undang-Undang
RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Modul
Pengetahuan dan Hukum Lingkungan PTIK. 2007.
Rina, Suliastini. 2009. Perbandingan
UU No 23/1997 dengan UU No 32/2009
Ali, Azar. 2007. Upaya penegakan hukum terhadap Kerusakan
lingkungan Hidup.
Comments
Post a Comment