Dua Tokoh Konservasi Dunia Asal Aceh
Rudi yang merupakan lulusan Biologi FMIPA Universitas Syiah Kuala
(Unsyiah) Banda Aceh dan saat ini sedang menempuh Magister di Institut
Pertanian Bogor di bidang Konservasi Biodiversitas Tropika.
Ia menghabiskan waktunya selama 13 tahun terakhir ini dalam upaya
konservasi satwa di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang merupakan kawasan
konservasi yang sangat terkenal dan menjadi harapan terakhir dunia bagi upaya
penyelamatan beberapa satwa langka.
Upaya yang dilakukan selain melakukan patroli rutin mencegah perburuan
satwa liar, beliau juga aktif memimpin upaya restorasi kawasan hutan yang telah
berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit untuk dikembalikan kembali
menjadi hutan. Hal ini dinilai sebagai kegiatan langka di dunia.
Sehari sebelumnya, Rudi bersama ketiga penerima award juga diundang untuk
memberikan ceramah di depan pengajar dan mahasiswa di Universitas Wegeningen,
salah satu universitas yang terkemuka di Belanda yang banyak melakukan penelitian
di Leuser.
Rudi merupakan warga negara Indonesia pertama yang mendapatkan
penghargaan internasional "Future for Nature Award" dari
Pemerintah Belanda, karena dinilai memiliki upaya, inovasi dan semangat dalam
menyelamatkan satwa terancam punah dan kawasan konservasi alam.
Rudi dipilih oleh 10 orang dewan juri yang terdiri dari pakar-pakar
konservasi terkenal di dunia yang tersebar di beberapa negara. Ia bersama Samia Saif (WN Bangladesh, upaya
penyelamatan Harimau Bangladesh) dan Dr. Lucy E. King (warga Inggris yang aktif
dalam konservasi gajah Afrika di Kenya) mengalahkan 98 kandidat dari 45 negara.
Rudi merupakan warga negara Indonesia pertama yang mendapatkan
penghargaan ini sejak diadakan. Penyerahan penghargaan ini diberikan di
Burger's Zoo, Arnhem, Belanda, yang merupakan pusat konservasi satwa liar yang
sangat berhasil dalam mengembangbiakkan satwa-satwa di dunia yang didirikan
pada tahun 1913. Penghargaan tersebut
diserahkan oleh Jane Goodall, seorang pejuang konservasi terkenal di dunia yang
menghabiskan waktunya lebih dari 33 tahun untuk menyelamatkan Simpanse di
Afrika dan Saba Douglas Hamilton, seorang artis/presenter yang mengabdikan
dirinya dalam penyelamatan gajah di Afrika.
Ia menyatakan, penghargaan internasional yang diterimanya itu sangat
kontradiktif dengan yang terjadi di Aceh, dimana Gubernur Aceh telah
membubarkan Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) yang sebelumnya
berupa badan khusus untuk mengelola kawasan konservasi yang sangat terkenal
itu.
"Hal ini menjadi keprihatinan banyak undangan yang menghadiri
penyerahan award ini dan mengikuti perkembangan di KEL. Mereka menyampaikannya
secara langsung kepada saya pada saat jamuan makan. Mereka berharap agar
keputusan pembubaran ini ditinjau ulang oleh Gubernur Aceh," ujarnya.
Beberapa pakar yang sangat menyayangkan tentang kondisi di Leuser
diantaranya adalah Prof Dr Herman Rikjsen dan Dr Jan Win, dua ahli terkenal di
Belanda. Leuser sangat terkenal di Belanda dan sudah ada sejak zaman penjajahan
yang dibentuk atas inisiatif seorang geolog dan konservasionis Belanda. Dari
masa itu hingga sekarang banyak warga Belanda yang melakukan penelitian di
Leuser. Ia menyatakan, saat ini, upaya perlindungan dan monitoring kawasan
tetap dilakukan oleh para mantan karyawan BPKEL walaupun dengan sangat
terbatas, karena ketiadaan dana sejak BPKEL dibubarkan.
"Mereka melakukan kegiatan dengan dana sendiri yang dikumpulkan dari
beberapa anggota atau sumbangan pribadi yang peduli. Hal ini dilakukan untuk
mencegah perburuan satwa serta kerusakan hutan di Leuser," katanya.
Rudi ditunjuk sebagai Ketua Forum Karyawan BPKEL (FK-BPKEL) yang dibentuk
oleh karyawan BPKEL pada Desember 2012 sebagai wadah para mantan pekerja agar
dapat bekerja demi mempertahankan kelestarian KEL.
Farwiza bukan wajah baru di dunia konservasi, terutama di Aceh. Bersama
tim HaKA Sumatra, mereka berjuang tanpa banyak ribut-ribut. Sambil menikmati
kopi panas, Wiza, demikian ia biasa disapa, mengisahkan perjalanannya di dunia
konservasi yang penuh tantangan.
Memperjuangkan
Hutan Aceh
Wiza menunjukkan peta Sumatra yang ia buka di ponselnya. Sambil menunjuk
garis-garis berwarna pembatas wilayah di peta, ia menjelaskan fungsi Kawasan
Ekosistem Leuser yang sering dianggap sama dengan Taman Nasional Gunung Leuser.
Padahal, ada perbedaan mendasar antara kedua istilah tersebut. Taman Nasional
Gunung Leuser hanyalah bagian kecil dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Saat ini, tempat Wiza bergiat, HaKA (Hutan, Alam, dan Lingkungan
Aceh), konsisten memperjuangkan
perlindungan dan restorasi lanskap di Provinsi Aceh. Salah satunya, mendorong
dimasukkannya Kawasan Ekosistem Leuser sebagai Kawasan Strategis Nasional
dengan fungsi lindung di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh. Inilah kawasan
ekosistem terakhir di dunia yang dihuni oleh empat megafauna, yaitu gajah,
badak, orang utan, dan harimau.
“Kalau Taman Nasional dipertahankan, tapi KEL dibabat habis, pasti
masyarakat yang tinggal di sepanjang pesisir Timur Aceh, di sepanjang pantai
barat Aceh dan central highland akan jadi korban banjir tahunan, gagal panen,
atau kekeringan,” papar Wiza, prihatin.
Fungsi Kawasan Ekosistem Leuser yang sangat penting bagi masyarakat Aceh
ini dihapuskan dari Qanun atau Perencanaan Tata Ruang Perda Aceh yang disahkan
pada akhir tahun 2013. Padahal, status KEL dalam UU adalah Kawasan Strategis
Nasional dengan Fungsi Lindung.
Tahun 2014, muncul dua petisi penting yang isinya meminta pemerintah Aceh
untuk merevisi Qanun Tata Ruang. Salah satu petisi tersebut didukung lebih dari
1 juta orang, termasuk aktor Leonardo DiCaprio. Kampanye dan dialog dengan
pemerintah pun terus dilakukan, namun tidak ada titik temu. Pada Februari 2014,
Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan evaluasi perda, salah satunya, harus
memasukkan KEL sebagai Kawasan Strategis Nasional dengan Fungsi Lindung. Kalau
tidak, perdanya akan dicabut. Sayangnya, hingga kini tidak ada tindak
lanjutnya.
Ramainya reaksi publik mendukung gerakan penyelamatan Kawasan Ekosistem
Leuser ternyata mendapat perhatian pemerintah. Setelah Perjanjian Paris pada
April lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan pemberlakuan moratorium atau
pembekuan perizinan sawit dan tambang. Hal ini direspons oleh Gubernur Aceh
yang memberlakukan moratorium sawit dan tambang di Kawasan Ekosistem Leuser.
Keluarga
Pembelajar
Sejak kecil, Wiza didukung penuh untuk terus menuntut ilmu dan
mengembangkan diri. Lahir di Aceh, ia tumbuh dalam keluarga akademisi yang
moderat. Ayahnya dosen farmakologi dan mantan anggota DPR, sementara ibunya
dosen teknik kimia. Bersama empat saudaranya, ia dibiasakan hidup tidak
berlebihan.
Di masa remaja, saat konsumerisme mulai menyapa lewat peer pressure, ia
sempat protes kepada ayahnya agar
dibelikan motor, meski saat itu teman-temannya sudah pamer mobil ke sekolah.
Namun, ayahnya hanya mengatakan, “Jangan sampai hanya karena kamu ingin mobil,
keluarga kita hancur karena terjerat skandal korupsi.” Wiza tersenyum mengingat-ingat kembali masa itu.
Ayahnya juga pria feminis. Suatu kali ayahnya bilang, “Wanita
kadang-kadang berada di posisi yang kurang beruntung. Dia pindah dari rumah
orang tuanya ke rumah suaminya. Seolah tidak pernah memiliki dirinya sendiri.”
Wiza dan tiga saudara perempuannya (satu lagi pria) terus didorong untuk
belajar setinggi-tingginya. “Ayah tidak ingin kalian terjebak oleh keadaan dan
tidak punya pilihan,” demikian pesan sang ayah yang terus dipegang erat oleh
Wiza.
Kesederhanaan dan kejujuran menjadi bekalnya merantau ke negeri orang.
Setelah meraih gelar sarjana, ia melanjutkan studi master biologi kelautan di
Melbourne, Australia. Saat itulah, ia magang di sebuah badan riset lingkungan.
Tugasnya, menganalisis output sebuah teknologi yang diklaim baik untuk
perubahan iklim, meski dia tahu bahwa klaim itu tidak sepenuhnya benar.
Hidupnya nyaman dengan gaji besar. Di awal, ia sempat menikmati kemapanan
itu. Tapi, nuraninya berkata lain. “Saya merasa seperti membohongi diri
sendiri.” Ia pun tidak ingin
berlama-lama. Begitu studi masternya selesai, ia langsung kembali ke
tanah air dan meninggalkan pekerjaan magangnya.
Saat masih SMU, ia jatuh cinta pada dunia bawah laut di Pulau Weh,
Sabang. Begitu ia kembali lagi lima belas tahun kemudian untuk liburan, banyak
hal berubah. Ia bertemu dengan tim Badan
Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan ditawari untuk bergabung dengan
tim riset. Inilah titik awal perjuangannya untuk KEL.
“Jika ingin bekerja melindungi KEL, saya harus tahu pasti apa yang ia
lindungi. Saya jatuh cinta pada Kawasan Ekosistem Leuser. Saya mencintai tempat
yang ingin saya lindungi. Dan pada akhirnya, kita melakukan sesuatu memang
karena cinta.”
Kerja konservasi memang identik dengan pekerjaan macho. Waktu kerjanya
panjang dan harus banyak turun ke lapangan. Belum lagi saat harus menghadapi
tekanan saat ada kasus lingkungan. Beberapa tahun lalu misalnya, saat
Kementerian Lingkungan Hidup menggugat beberapa perusahaan karena pembakaran
hutan di Aceh, Wiza bolak-balik ke pengadilan untuk bersaksi. Ada oknum-oknum
yang datang ke rumah, mencari keluarganya, menawarkan uang dan meminta ia agar
tidak bersaksi.
“Tentu saya sempat ciut juga. Saya
berpikir ulang. Apakah semua ini sepadan dengan kepuasan yang saya dapatkan?
Saya dianugerahi banyak pilihan untuk berkarier di banyak negara. Tapi, inilah
pilihan saya.”
Tim HaKA yang ramping dengan tugas seabrek mau tidak mau menuntut
perhatian penuh dari semua anggotanya. Ia bersyukur bisa bekerja dengan tim
yang berdedikasi tinggi. Salah satunya, Rudi Putra, Conservation Manager HaKA,
yang juga peraih Goldman Prize 2014, penghargaan bergengsi yang sering disebut
Oscar untuk para pejuang lingkungan. Yang tak kalah menarik, pos-pos penting di
HaKA diisi oleh wanita yang berpendidikan tinggi. Termasuk Wiza yang sekarang
adalah PhD Candidate di Radboud University Nijmegen, Nijmegen, Belanda. Ia
mendalami cultural anthropology & development studies.
Ia memilih studi antropologi untuk lebih memahami masalah masyarakat
sebagai pendekatan menuju perubahan kebijakan publik. Para birokrat pembuat
regulasi tidak banyak yang memiliki pemahaman yang baik tentang pengelolaan
hutan dan laut. “Bayangkan, tanpa pemahaman, mereka mencoba mengatur hutan dan
laut. Mau jadi apa? Ibaratnya, seorang pria mencoba meregulasi tubuh wanita,
padahal dia tidak paham dengan siklus menstruasi dan fluktuasi mood kita,”
ujarnya, tegas.
Kebakaran hutan sangat berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. Hutan
gundul akan membuat ekonomi suatu negara kolaps. Ia mencontohkan Haiti yang sangat miskin, padahal Republik
Dominika yang notabene satu pulau tapi alamnya masih hijau, bisa sangat
sejahtera. Perlindungan hutan itu harusnya kita lakukan bersama.
Kunjungan Leonardo DiCaprio ke Kawasan Ekosistem Leuser menjadi bonus
bagi tim HaKA. Leo meminjamkan popularitasnya untuk isu-isu penting, seperti
perubahan iklim. Wiza melihat Leo memang sangat peduli dan tulus ingin
menyelamatkan lingkungan. Ia mengutip ucapan Leo, “Isu penyelamatan lingkungan
harus menjadi sesuatu yang mainstream, karena
tiap orang berutang pada planet ini. Tanpa planet yang sehat, kita
takkan bisa bertahan.”
Saat masyarakat sudah sadar dengan apa yang terjadi pada alam, mereka
akan menjadi pahlawan untuk diri mereka sendiri. Meraih penghargaan adalah
bonus lain bagi perjuangan mereka. Sebab, masih banyak yang belum paham mengapa
kita harus menolak pembukaan lahan untuk kebun sawit. “Mungkin saja kita merasa
tidak membunuh harimau sumatra, dan tidak membeli produk dari kulit harimau.
Tapi, kita tiap hari membeli minyak sayur dari kelapa sawit yang membunuh
habitatnya,” tegas Wiza.
Jadi, apa yang membuat ia bertahan sebagai pekerja konservasi? “It’s love
for the place, love for the people,” katanya ringan. Ia merasa beruntung
pekerjaannya memberi kesempatan untuk terus bepergian, sehingga tidak ada kata
bosan dalam kamusnya. Di antara kesibukannya, ia menikmati waktu dengan cara
sederhana, namun merupakan sepotong kemewahan bagi para pekerja urban, yaitu
menikmati senja di pantai Aceh yang indah.
“Ini hidup yang menyenangkan. Dari rumah saya, cukup 20 menit ke pantai.
Mau hiking ke bukit yang ada air terjun pun dekat. I’m in a perpetual holiday,”
katanya tersenyum, menutup pembicaraan.
Comments
Post a Comment