Meraih mimpi itu tidak semudah bermimpi. Adakalanya kita hanya bisa menelan pil pahit kenyataan bahwa mimpi itu tidaklah nyata dan tidak bisa kita nyatakan. Tapi mimpi tetaplah mimpi, kita membutuhkanya untuk bisa bertahan melawan arus kehidupan ini.
Aku percaya, semua berawal dari mimpi. Bahkan mendampingi hidupnya saat ini juga merupakan sebuah mimpi indah dalam tidur panjangku belasan tahun yang lalu. Ketika aku hanyalah seorang abege labil yang masih menggunakan seragam putih-biru (SMP).
Bukan hal yang mudah memang, aku hanya bisa melihat dia dari kejauhan. Mendayung sepeda phoenix kesayangannya menuju sekolah. Dia lelaki terhebat di mataku dan aku bagai si punguk mengharapkan bulan. He's peefect.
Tapi harapan itu muncul ketika dia telah lulus SMA. Sore itu dalam lembayung senja yang merenggut cahaya matahari bergantikan rembulan, dia tersenyum untuk pertama kali padaku. Sekilas lalu. Tapi sampai hari ini aku masih bisa merasakan hatiku terasa menghangat dan kupu-kupu berterbangan di sel-sel otakku. Semenjak hari itu, mimpi itu semakin besar dan berkembang menjadi mimpi-mimpi baru.
Tapi takdir hanya sebentar berpihak kepadaku. Seiring konflik yang semakin memanas di negeriku ini, dia harus menjauh dan bersembunyi di kejamnya belantara hutan. Pemuda-pemuda seumuran dia sangat rentan jika tetap memilih tinggal di desa. Nyawa jadi taruhan.
Bang Lah misalnya, kepalanya menjadi sasaran empuk timah aparat karena diduga Bang Lah anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka - anggota saparatis yang di anggap mengamcam kedaulatan negara saat itu). Lain lagi dengan Dek Gam, mayatnya ditemukan di mengambang di sungai. Sehari sebelumnya dia di tangkap GAM karena diduga cu'ak PAI ( mata-mata tentara).
"Meunyona umu panyang dan abang seulamat, abang jak tung adinda wate ka tamat sikula !" ( Kalau ada umur panjang dan abang selamat, abang jemput adik saat sekolahnya tamat ) Itulah yang kubaca disuratnya yang dititipkan sama teman sejawatku saat itu.
Aku tidak lagi mendengar berita tentangnya setelah itu. Jejaknya hilang ditelan waktu. Meski SMA telah kutamatkan dua tahun yang lalu. Tetapi mimpi itu masih ada. Aku mengharapkannya menjadi nyata suatu hari nanti yang entah kapan akupun tidak tau.
Dalam doa dia selalu kusertakan namanya. Kutolak semua lamaran yang datang, aku menantinya. Ibu hanya bisa mendukungku saat itu, meski dia selalu mengingatkan agar aku berhenti berharap. Ikhlaskan !
"Tidak aman anak perempuan sepertimu masih tetap melajang dalam keadaan perang seperti ini." begitulah nasehat yang sering kudengar darinya.
Aku tetap bergeming, aku percaya mimpi. Tidak mudah, kuakui itu. Apalagi beberapa tentara muda kerap mangkir dirumahku dengan berbagai alasan, agar biaa bertemu dan mengobrol denganku. Bahkan aku hampir goyah untuk segera menikah, ketika ada aparat berseragam lourent itu terang-terangan merayuku.
Hingga bencana yang juga kami anggap anugerah bagi rakyat saat itu, Tsunami melanda daratan aceh. Musibah inilah yang menjadi awal mula perjanjian damai RI-GAM yang dituangkan kedalam Mou Helsingki. Perang itu berhenti. Tetapi dia tak juga kembali.
Disaat harapanku mulai luluh, aku berpikir saat itulah mimpi itu harus dikubur. Dia telah pergi !
Namun keajaiban itu datang, entah darimana aku tidak tau. Dia pulang. Tersenyum hangat sama seperti saat pertama dia tersenyum padaku. Tiba-tiba aku jadi gagu. Aku hanya bisa melihatnya dari sudut rumahku. Melihatnya disambut haru oleh kerabat dan tetangga. Aku menjadi diriku beberapa tahun silam, menganggapnya mimpi yang tidak nyata.
Dia masih sempurna, di mataku ! Dan yang tak kusadari pun terjadi, dia berdiri tepat dihadapanku. Tersenyum hangat. Tubuhku menegang, seperti patung. Kata-kata itu keluar begitu saja dimulutnya.
"Jak ta menikah, abang ka troek woe meugisa !" (Ayo menikah, abang sudah pulang kembali)
Tak ada jawaban yang keluar dari mulutku. Tapi aku tau dia mengerti, diamnya perempuan berarti iya. Dia tersenyum lagi, lebih hangat dan bahagia. Aku meleleh !
Comments
Post a Comment