BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Perubahan
Undang-Undang Desa
Undang-undang yang mengatur mengenai Pemerintahan Desa terus mengalami
perubahan, sejak diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok
Pemerintahan di Daerah, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Peraturan Pemerintah
No. 72 Tahun
2005 Tentang Desa, serta yang
terakhir dan belum lama ini disahkan adalah Undang – Undang yang khusus
mengatur regulasi dan pemberian kewenangan lebih terhadap Pemerintahan Desa
yakni UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa dan Peraturan Pemerintah
No. 43 Tahun 2014 tentang Desa untuk mengatur dan mengelola sumber daya yang
ada di desa, baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang
ditujukan untuk menjadikan desa lebih mandiri dan dapat memberikan
kesejahteraan masyarakatnya. Perubahan
regulasi ini juga menyebabkan perubahan struktur dan pola
pemerintahan pada level desa.
Perubahan – perubahan yang terjadi terhadap undang – undang mengenai
desa ini memiliki dampak
yang sangat signifikan seperti
yang terjadi setelah
diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1974 pada masa orde baru, salah satu dampaknya
adalah penyeragaman semua model Pemerintahan terendah di seluruh Indonesia menjadi
bentuk Pemerintahan Desa yang pada dasarnya berasal dari budaya jawa yang
dipimpin oleh seorang kepala desa. Setelah terbitnya UU No. 5 Tahun 1974
ini, perubahan yang
terjadi pada Pemerintahan terendah
bukan sekedar berubahnya nama
wilayah melainkan lebih jauh lagi hingga menyentuh perubahan tatanan, struktur,
dan pola pemerintahan yang telah terlebih dahulu ada sebelum terbitnya UU No. 5
Tahun 1974 tersebut. Hal ini menyebabkan pemerintahan – pemerintahan adat yang
telah lebih dahulu ada seperti Nagari di Minangkabau, Gampong di Aceh, Nagori
di Simalungun dan lain – lain yang ada di seluruh Indonesia dilebur
kedalam satu Sistem
Pemerintahan terendah yang
disebut sebagai desa.
1.2 Peraturan Desa
Berdasarkan prinsip desentralisasi dan
otonomi daerah, Desa atau yang disebut dengan nama lain diberi kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rangka pengaturan kepentingan masyarakat, maka guna meningkatkan
kelancaran dalam penyelenggaraan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan reformasi serta dalam rangka mengimplementasikan
pelaksanaan UU No. 32 Th. 2004, ditetapkanlah Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun
2005 tentang Desa.
Peraturan Desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
dengan demikian maka Peraturan Desa harus merupakan penjabaran lebih lanjut
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, serta harus memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat, dalam
upaya mencapai tujuan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat jangka
panjang, menengah dan jangka pendek.
Peraturan Desa
dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik (Pasal 2 Permendagri NO 29 Tahun 2006), meliputi:
a. kejelasan
tujuan;
b. kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian
antara jenis dan materi muatan;
d. dapat
dilaksanakan;
e. kedayagunaan
dan kehasilgunaan;
f. kejelasan
rumusan, dan
g. keterbukaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Kebijakan Publik
Pada dasarnya terdapat banyak batasan dan defenisi mengenai apa yang dimaksud
dengan kebijakan publik
(public policy).
Masing-masing defenisi tersebut memberi
penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan
itu timbul karena masing-masing
ahli mempunyai latar belakang yang beragam.
Menurut Chander dan Plano kebijakan publik adalah pemanfaatan yang
strategis terhadap sumber daya–sumber daya yang ada untuk memecahkan
masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataannya kebijakan tersebut
telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun
para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Selanjutnya dikatakan
bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara
terus menerus oleh
pemerintah demi kepentingan
kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka
dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.
Sementara menurut Heglo kebijakan adalah suatu tindakan yang bermaksud
untuk mencapai suatu
tujuan–tujuan tertentu. Anderson
mendefinisikan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang
mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku
atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Sedangkan
menurut Woll kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk
memecahkan masalah di
masyarakat, baik secara
langsung maupun melalui lembaga
yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Dalam pelaksanaan kebijakan publik
terdapat tiga tingkat pengaruh sebagai implikasi dari tindakan – tindakan pemerintah yaitu:
a.
Adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang dibuat
oleh politisi, pegawai pemerintah atau
yang lainnya yang
bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan
masyarakat.
b.
Adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang
diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan,
penganggaran, pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program
yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat.
c.
Adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan
kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Dari beberapa
pengertian yang dikemukakan para ahli tersebut bahwa dapat diperoleh gambaran
awal mengenai konsep kebijakan publik yakni merupakan suatu bentuk intervensi
yang dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan suatu masalah yang terjadi di
masyarakat dengan memanfaatkan berbagai sumber daya- sumber daya
yang ada untuk
mencapai tujuan tertentu
yang telah ditetapkan sebelumnya.
Konsep kebijakan
publik ternyata juga dimaknai dan dirumuskan secara beragam. Hal ini disebabkan
oleh kenyataan bahwa sebagian besar defenisi yang dikemukakan dipengaruhi oleh
masalah-masalah tertentu yang ingin dilihat. Pandangan pertama, ialah pendapat
para ahli yang mengidentikkan kebijakan publik dengan tindakan-tindakan yang
dilakukan pemerintah. Beranggapan bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah pada dasarnya disebut sebagai kebijakan publik.
Kebijakan publik
juga dapat diartikan sebagai suatu tujuan tertentu, atau serangkaian asas
tertentu, atau tindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada suatu waktu
tertentu dalam kaitannya dengan suatu subjek atau sebagai respon terhadap
keadaan yang kritis. R. Dye merumuskan kebijakan publik sebagai semua pilihan
atau tindakan yang dilakukan pemerintah. Dalam hal ini Dye beranggapan bahwa
kebijakan publik itu menyangkut pilihan-pilihan apapun yang dilakukan oleh pemerintah,
baik untuk melakukan
sesuatu ataupun untuk
tidak berbuat sesuatu.
Pandangan yang
kedua, ialah pendapat para ahli yang memusatkan perhatian pada implementasi
kebijakan (policy implementation).
Mereka melihat kebijakan publik sebagai
keputusan-keputusan yang mempunyai
tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran tertentu dan mempunyai dampak dan
akibat-akibat yang diramalkan (predictable),
atau dapat diantisipasikan sebelumnya.
Proses pembuatan suatu kebijakan diawali dengan
penyusunan agenda yang menempatkan berbagai masalah ke dalam sebuah agenda
kebijakan yang selanjutnya akan dibahas oleh para pembuat kebijakan untuk
menghasilkan alternatif pemecahan masalah yang akan dibahas pada tahap
formulasi kebijakan. Setelah memperoleh alternatif terbaik, maka alternatif
tersebut dirumuskan ke dalam bentuk kebijakan yang selanjutnya akan
diimplementasikan oleh para pelaksana
kebijakan14.Kebijakan yang telah
dilaksanakan tersebut selanjutnya akan dievaluasi untuk melihat
sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah.
2.2
Tujuan Peraturan Daerah
Sebelum
dijelaskan mengenai tujuan dari pembuatan Peraturan Daerah, maka terlebih
dahulu penulis akan memaparkan tentang tujuan hukum yang di kemukakan oleh para
pakar. Menurut O. Notohamijojo (1970:80) merumuskan tujuan hukum yaitu sebagai
berikut :
Melindungi hak
dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam
masyarakat, (dalam arti luas yang mencakup lembaga-lembaga sosial di bidang
politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan) atas dasar keadilan, untuk mencapai
keseimbangan serta damai dan kesejahteraan umum.
Sedangkan
menurut Mahadi (1994:32) bahwa tujuan hukum yang semestinya dicapai yaitu “
mengadakan keselamatan dan tata tertib dalam suatu masyarakat”.
Berdasarkan
beberapa pengertian dan konsep dari tujuan hukum tersebut di atas, maka
peraturan daerah yang merupakan produk perundang-undangan pemerintah daerah
bertujuan untuk mengatur hidup bersama, melindungi hak dan kewajiban manusia
dalam masyarakat, menjaga keselamatan dan tata tertib masyarakat di daerah yang
bersangkutan sehingga dengan demikian pada dasarnya peraturan daerah adalah
merupakan sarana komunikasi timbal balik antara Kepala daerah dengan masyarakat
di daerahnya, oleh karena itu setiap keputusan yang penting dan menyangkut
pengaturan dan pengurusan rumah tangga daerah yang tertuang dalam peraturan
daerah harus mengikutsertakan masyarakat yang bersangkutan. Hal ini juga sesuai
dengan ketentuan Pasal 139 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang tertulis bahwa :
(1) Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan
atau pembahasan rancangan PERDA.
(2) Persiapan
pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan PERDA berpedoman kepada
peraturan perundang-undangan.
Dengan
dilibatkannya masyarakat dalam proses pembuatan rancangan peraturan daerah,
maka diharapkan nantinya setelah rancangan peraturan daerah tersebut disahkan
menjadi peraturan daerah dapat mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat
sehingga tujuan yang diingin dicapai dapat terwujud dan juga tidak ada hak-hak
masyarakat terabaikan.
Namun fenomena
yang terjadi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan rancangan
peraturan daerah masih banyak yang belum terealisasi sehingga akibatnya adalah
banyak peraturan daerah yang dalam pelaksanaannya menimbulkan permasalahan. Di
sinilah peranan bagian hukum sangat diharapkan untuk mengantisipasi agar
kejadian tersebut tidak terjadi karena bagian hukum sebagai pelaksana teknis
dalam membantu tugas Kepala Daerah untuk membuat suatu rancangan peraturan
daerah.
Idealnya bahwa
untuk menghasilkan produk peraturan daerah yang baik dan dapat berlaku efektif,
maka segenap komponen masyarakat harus dilibatkan, olehnya perangkat di daerah
utamanya bagian hukum harus lebih pro aktif dalam menyerap aspirasi masyarakat
untuk kemudian dituangkan dalam rancangan peraturan daerah yang akan diatur,
tetapi terkadang pula ditemukan bahwa aspirasi masyarakat tidak didengarkan
oleh mereka yang mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan daerah sehingga
hasilnya juga tidak maksimal dalam arti peraturan daerah tidak berlaku
efektif.
2.3 Kondisi di Daerah.
Di berbagai
sosialisasi RAPERDA, sering kita mendengar argumen bahwa untuk menyelesaikan
permasalahan tertentu perlu segera ditetapkan sebuah perda atau payung hukum
yang sesuai dengan situasi daerah setempat, tetapi argumen itu sendiri sering
tidak menyebutkan secara jelas apa masalah faktual yang dimaksud dan mengapa
harus dalam bentuk sebuah perda.
Sebenarnya cukup
mudah untuk mengkaji apakah sebuah perda memang dibutuhkan atau tidak. Hal
tersebut dapat dianalisa melalui Indikator Regmap yang dikeluarkan oleh
Bappenas bekerja sama dengan Senada.
Pertama, sudah
ada atau belum ada aturan yang mengatur tentang bidang terkait. Jika sudah apa
peraturan yang mengatur, untuk apa dibuat aturan yang baru. Kedua: masalah
yang timbul akibat kurang lengkapnya aturan atau karena aturan tersebut belum
dilaksanakan dengan benar. Jika penyebab masalah adalah belum dilaksanakannya
aturan secara benar seharusnya diadakan pendidikan atau sosialisasi kepada
aparat. Ketiga: kesesuaian antara tujuan pembuatan perda yang tercantum di
dalam konsiderans menimbang dengan mekanisme yang terdapat dalam batang tubuh
perda. Mekanisme dimaksud adalah rumusan norma di dalam batang tubuh
perda. Keempat: Apa potensi dampak dan dampak bagi masyarakat jika sebuah
perda ditetapkan. Tentunya dampak positif atau negatif tersebut harus jelas ukurannya,
bukan berdasarkan perasaan subjektif penyusun perda.
Dari berbagai
perda atau RAPERDA yang pernah ditemui, banyak mekanisme yang dirumuskan justru
tidak menyelesaikan masalah utama. Norma-norma di dalam perda lebih banyak
mengutip peraturan perundang-undangan di tingkat pusat, sedangkan muatan
lokal/masalah lokal hanya tempelan dan belum jelas arah penyelesaiannya
sehingga justru menambah masalah. Terjadi degradasi materi muatan aturan yang
lebih tinggi ke aturan yang lebih rendah, artinya perda tersebut tidak memenuhi
asas kesesuaian materi muatan dengan jenis peraturan perundang-undangan. Jangan
tanya dulu manfaat yang akan diperoleh masyarakat.
Para pembentuk
perda harus mampu menerjemahkan dan menafsirkan peraturan perundang-undangan di
tingkat pusat dan serius menganalisa permasalahan di daerah. Kajian ilmiah
untuk menentukan sasaran atau inti masalah hingga solusi pemecahan masalah
merupakan keharusan. Ujung kesimpulan kajian ilmiah tidak harus selalu
mendukung pembentukan perda tetapi mungkin juga tidak dibentuk perda.
Seberapa jauh
Peraturan Daerah tersebut mampu memberikan solusi atau menjadi panduan bagi
Pemerintah Daerah pada saat terjadi bencana tidak akan dibahas di sini. Tetapi
sebagai sebuah renungan, jika sebuah perda disusun dengan argumen untuk
menyelesaikan sebuah masalah maka saat dihadapkan dengan masalah sesungguhnya
akan terlihat seberapa banyak perda tersebut memberikan jalan keluar.
Pembentukan
perda haruslah benar-benar berdasarkan kebutuhan nyata, bukan sekedar memenuhi
target jumlah perda yang harus ditetapkan. Tidak pula karena alasan sudah
terlanjur dianggarkan atau untuk menyerap anggaran, sedangkan tujuan-tujuan
mulia yang dirumuskan begitu indah dan terbang ke langit hanya menjadi lips
service.
Alangkah baik
jika RAPERDA yang akan dibahas di DPRD merupakan rancangan yang sudah terkonsep
dan terencana dengan baik, melalui kajian ilmiah yang sesungguhnya dan bukan
kajian pelengkap agar memenuhi syarat untuk dibahas, mampu menyelesaikan
permasalahan-permasalahan di daerah, dan membawa manfaat yang besar bagi
masyarakat.
.
BAB III
PEMECAHAN
MASALAH
3.1 Subtansi UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Pemerintah
pada tanggal 15 Januari 2014 telah menetapkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa. Dalam konsideran UU tersebut diisampaikan bahwa Desa memiliki hak
asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Kemudian bahwa
dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam
berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat,
maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat
dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera
Jika kita pahami
dari konstruksi hukum terhadap struktur pemerintahan desa, sebenarnya masih
menggunakan konstruksi hukum yang diterapkan selama ini. Hal ini dapat kita
telusuri dari teks hukum pada pasal 1 angka UU No 6 Tahun 2014 yang menyatakan,
bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pertanyaan yang
perlu diajukan adalah apa yang dimaksudkan dengan penyelenggaraan urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, karena di sini ada dua
konsep, yakni pertama, penyelenggaraan urusan pemerintahan, kedua, kepentingan
masyarakat setempat.
Untuk memahami
ini, harus dipahami lebih dahulu apa yang dimaksud dengan desa, apabila
memperhatikan secara cermat teks hukum UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pada
pasal 1 angka 1 memberikan batasan tentang desa berikut ini.
Desa adalah desa
dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan
rumusan pasal 1 angka 1, terjawablah, bahwa desa memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati. Jadi yang dimaksud penyelenggaraan urusan pemerintahan
adalah “untuk mengatur”, untuk mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat.
Dasar yang
digunakan adalah berdasarkan (1) prakarsa masyarakat, (2) berdasarkan hak asal
usul atau hak tradisional. Pertanyaan siapa yang berwenang untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat? Pertanyaan
ini dijawab dalam rumusan pada Pasal 1 angka 3 yang menyatakan,
bahwa Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan
nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
Jadi yang
berwenang adalah pemerintah desa, yakni Kepala Desa dibantu perangkat desa,
sebagai unsur penyelenggaran pemerintahan desa. Ini artinya disamping Kepala
desa dan perangkat desa ada unsur lain penyelenggara pemerintahan desa.
Siapakah unsur lain dimaksud dalam UU No 6 Tahun 2014 ?
Pasal 1 angka 4
UU No 6 Tahun 2014 menjawab yang dimaksudkan unsur lain, yakni Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut
dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang
anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah
dan ditetapkan secara demokratis.
3.2 Kedudukan Desa dan Kepala Desa dalam
Ketatanegaraan Indonesia
Memosisikan
kedudukan desa dan Kepala Desa dalam ketatanegaraan Indonesia perlu dipahami
sebagai penyelenggaraan urusan yang dilaksanakan dalam rangka pemerintahan
dalam arti luas, untuk melayani masyarakat. Perlekatan mengenai ketatanegaraan
tampaknya lebih baik dikesampingkan terlebih dahulu karena beberapa alasan.
Faktor utama yaitu bahwa persepsi mengenai urusan dan kelembagaan
ketatanegaraan berbeda dengan urusan dan kelembagaan pemerintahan. Hal ini
dapat dikuatkan oleh penjelasan Bagir Manan bahwa karena
konstitusi/Undang-Undang Dasar merupakan kaidah dasar bagi semua bidang hukum,
belum tentu kaidah yang diatur merupakan kaidah ketatanegaraan. Begitu pula
lembaga-lembaga yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar belum tentu merupakan
lembaga yang bersifat ketatanegaraan (Manan: 2009).
Adapun di dalamnya terdapat distribusi
kekuasaan secara vertikal (kekuasaan pemerintah Pusat dan Daerah), terbatas
pada satuan pemerintahan mana yang diberikan kekuasaan dalam konstitusi (Anwar:
1999). UUD 1945 sendiri secara eksplist mengatur satuan pemerintahan yang
mempunyai pemerintahan daerah hanya Provinsi, Kabupaten, dan Kota (vide Pasal
18 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Kedua). Dengan demikian, kerangka ketatanegaraan
perlu dibatasi sebatas pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah, selain
tentu saja struktur ketatanegaraan secara fundamental, pembagian wewenang di
antara struktur ketatanegaraan secara fundamental, dan jaminan hak asasi
manusia (Sri Soemantri: 2006).
Mengenai kedudukan Desa (atau nama lainnya),
Rosjidi Ranggawidjaja menautkannya dari pengakuan dan penghormatan Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 kesatuankesatuan masyarakat hukum adat serta hakhak
tradisonalnya sepanjang masih hidup dansesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan
UndangUndang (Ranggawidjaja: 2013).
Landasan ini memisahkan antara satuan
pemerintahan daerah yang diberi otonomi dengan kesatuan masyarakat hukum.
Urusan yang dikelola oleh satuan pemerintahan daerah menunjukkan pemencaran
kekuasaan, sementara, sepanjang masih ada, urusan yang dikelola oleh Desa
merupakan pengakuan. Tentunya tetap dimungkinkan terdapat tugas pembantuan yang
diberikan oleh Kabupaten, Provinsi, maupun Pemerintah Pusat.
Dalam Undang-Undang Desa yang baru (UU No. 6
Tahun 2014), diartikan bahwa:
“Desa
adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1).
Kedudukan Desa tercermin dalam Pasal 2 dan
Pasal 5 undang-undang tersebut, sebagai berikut: “Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka
Tunggal Ika”.
“Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota”
(Pasal 5). Ketentuan di atas menegaskan kedudukan Desa sebagai bagian dari
Pemerintahan Daerah. Hal ini pula yang menjadikan Peraturan Desa atas dasar
Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 (vide Pasal 3 ayat (7) huruf c) dan UU No. 10
Tahun 2004 (vide Pasal 7 ayat (2) huruf c) sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan sebagai bagian dari peraturan daerah.
Walaupun demikian, dalam perkembangan selanjutnya,
Peraturan Desa tidak dikategorikan sebagai peraturan daerah berdasarkan UU No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, walaupun
undang-undang tersebut mengakui keberadaan “peraturan yang ditetapkan oleh…
kepala desa atau pejabat yang setingkat” (vide Pasal 8 ayat (1)).
Perlu dicatat pula bahwa karakter Desa
sekarang berbeda dengan apa yang diartikan dahulu oleh UU No. 19 Tahun 1965.
Dikatakan bahwa “Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu
batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih
penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri” (vide Pasal 1 UU No. 19 Tahun
1965).
Mengutip pendapat Bagir Manan, Rosjidi
Ranggawidjaja menegaskan bahwa Desa di masa lampau merupakan komunitas sosial,
keberadaannya telah ada jauh sebelum Indonesia berdiri. Rosjidi Ranggawjidjaja
melanjutkan pendapatnya bahwa “Pemerintahan Desa yang ada sekarang adalah
kelanjutan dari Pemerintahan Desa jaman dahulu, hanya saja Pemerintahan Desa
sekarang sudah kehilangan “rohnya” sebagai Desa yang mandiri. Desa yang ada
sekarang bukan lagi sebagai ”inlandsche gemeenten”, sebagai pemerintahan asli
bangsa Indonesia. Pemerintahan Desa sekarang lebih tepat disebut pemerintahan
semu atau bayang-bayang (quasi government organization)” (Ranggawidjaja: 2013).
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah masih mengakui keberadaan pemerintahan desa tetapi juga tidak bermaksud
untuk tetap mempertahankan sistem pemerintahan desa ini dalam sistem
pemerintahan daerah di Indonesia. Hal ini menurut Rosjidi Ranggawdjaja (2013)
dapat dilihat dari adanya kebolehan untuk mengubah status desa menjadi
kelurahan (Pasal 200 Ayat (3)), yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah
kabupaten/kota dan menjalankan fungsi dekonsentrasi. Sayangnya, undang-undang
ini seolah-olah menempatkan kedudukan kelurahan seolah-olah lebih baik dari
desa yang menjalankan desentralisasi dengan adanya syarat tertentu berdasarkan
jumlah penduduk, luas wilayah dll apabila suatu desa hendak diubah statusnya
menjadi kelurahan. Hal ini menurut Rosjidi Ranggawdjaja (2013) mengarah kepada
kehendak untuk dilaksanakannya dekonsentrasi atau sentralisasi.
Kebijakan penyeragaman yang telah dibangun
sejak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desaberlanjut hingga
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, terutama dilihat dari kedudukan serta
pengisian jabatan Kepala Desa dan penghasilan Pemerintah Desa. Pertama,
kedudukan Kepala Desa adalah sebagai pimpinan Pemerintah Desa atau yang disebut
dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan
nama lain (Pasal 25 UU No. 6 Tahun 2014). Walaupun Kepala Desa dipilih langsung
oleh penduduk Desa (Pasal 34 (1)), pengesahan (Pasal 37 (5)) dan pelantikan
(Pasal 38 (1)) Kepala Desa dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.
Kedua, pelantikan tersebut linier dengan
penghasilan Kepala Desa. Pasal 66 (1) melegitimasi bahwa Kepala Desa dan
perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan ditambah dengan
jaminan kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah (ayat (4)).
Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa bersumber dari dana
perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh
Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota (Pasal 66 ayat (2)).
Selain penghasilan tetap, Kepala Desa dan
perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa (Pasal 66 ayat (3)). Skema sumber pendapatan Kepala Desa tersebut
menunjukkan ketergantungan keuangan yang cukup besar bagi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa. Gerusan terhadap otonomi Desa pun diperkuat lagi dalam
pembentukan Desa. Walaupun belum tentu sifat asal-usul dan hak-hak tradisional
masyarakat Desa serta merta hilang karena kebijakan pemekaran Desa, keberadaan
Desa secara formal tidak lagi merupakan komunitas sosial yang tumbuh melalui
ikatan sosiologis.
Pengaturan baru tentang Desa dalam UU No. 6
Tahun 2014 tidak berimplikasi pada perubahan status kepala desa menjadi
“pejabat negara”. Hal ini disebabkan kepala desa sejak dahulu, walaupun
memimpin satuan pemerintahan yang bersifat otonom (desa) tidak bertindak untuk
dan atas nama negara sebagaimana karakter yang melekat pada “pejabat
negara”.Namun tetap sebagai pejabat pemerintahan karena merupakan salah satu
penyelenggara pemerintahan desa. Penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan
antara pejabat negara dan pejabat pemerintahan dapat merujuk artikel Pejabat
Negara dan Pejabat Pemerintahan.
3.3
Dampak
Perubahan Desa Setelah Lahirnya Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014
Sesungguhnya
yang sedang kita upayakan dengan pembuatan udang-undang adalah untuk sebuah
“perubahan”. Tentu saja dengan maksud untuk menuju perubahan yang lebih baik.
Namun sebelumnya mari kita menelusuri “apa makna perubahan” itu, teori-teori
apa yang telah menjelaskan tentang perubahan yang sudah terjadi dan atau
diprediksikan akan terjadi di dalam masyarakat. Ada dua ranah besar perubahan
yang akan dibahas di sini, yaitu “perubahan sosial” (social change) dan
“perubahan kebudayaan” (cultural change). Apa hubungan antar keduanya,
apa dimensi pada masing-masing “perubahan” tersebut, dan akhirnya mari kota
coba menghubungan antara perubahan yang diharapkan melalui UU no 6 Tahun 2014
Tentang Desa (UU Desa 2014) yang baru dengan kedua jenis perubahan tersebut.
Dampak yang diharapkan dari
diberlakukannya UU Desa 2014 adalah suatu perubahan yang lebih baik di dalam
masyarakat, dalam hal ini masyarakat di level grassroots, desa. Oleh karena itu
perlu didiskusikan di awal apa makna “masyarakat” yang dibayangkan oleh UU Desa
2014 tersebut --tentu dalam hal ini adalah persepsi yang dianut oleh para
penyusun UU Desa 2014 tersebut tentang konsep masyarakat. Secara umum para ahli
sosial dan perubahan masyarakat menganut dua jenis konsepsi tentang masyarakat,
yaitu static perspective dan dynamic perspective. Static perspective
mengasumsikan bahwa masyarakat itu bergerak atau berubah secara statis (pelan)
sesuai dengan struktur sosial yang dimiliki. Sementara perpective dynamic
berasumsi bahwa masyarakat akan selalu bergerak atau berubah secara dinamis,
tergantung besar kecilnya faktor eksternal yang ber-”relasi” dengan masyarakat
bersangkutan.
Di dalam UU Desa 2014
disebutkan “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat dan sosial budaya masyarakat setempat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia….” (BAB 1 KETENTUAN UMUM, Pasal 1 ayat 5).
Istilah-istilah seperti kesatuan masyarakat hukum, hak asal-usul, adat istiadat
dan sosial budaya, merupakan sebuah bangunan cultutal yang terejawantahkan
dalam sub socio-cultural yang disebut civilization.
Dengan diterbitkannya UU Desa
2014 sesungguhnya yang sedang dikerjakan adalah “melakukan perubahan” untuk
“desa” khususnya untuk kemakmuran masyarakat desa. Bahwa untuk kemakmuran
masyarakat desa tersebut perlu dirancang sistem organisasi desa yang lebih
baik, peraturan pemilihan kepala dan perangkat desa yang lebih baik, pendekatan
pembangunan tentang desa secara lebih baik, pengaturan relasi antara desa
dengan supra desa lebih baik, penganggaran budget untuk desa secara lebih baik,
semuanya memang benar harus diatur. Meskipun demikian, dalam artian bahwa
semuanya itu ditujukan untuk “hal yang lebih baik” tentang desa, bisa saja “perubahan”
yang diharapkan meleset dari yang diperkirakan karena latar belakang pemikiran
teoritis yang kurang matang apalagi hanya didorong oleh “ketergesa-gesaan”.
Model perubahan (social
change) yang statis diasumsikan oleh karena perubahan tersebut akan
berhadapan dengan “bangunan kultur” yang biasanya lamban untuk berubah.
Sementara model perubahan dinamis diasumsi bahwa perubahan tersebut akan
mempengaruhi level sosial (relasi kesepakatan-kesepakatan antar individu atau
kelompok), dan tidak pada level kultural.
Sistem birokrasi desa berbeda dengan sistem birokrasi negara, seperti ditegaskan di dalam Naskah Akademik UU Desa 2014. Birokrasi negara didisain dan dikelola teknokratis dan modern dari sisi rekrutmen, pembinaan, penggajian (remunerasi), organisasi, tata kerja, tupoksi, dan lain-lain. Birokrasi Desa didisain dan dikelola dengan sistem campuran antara pendekatan tradisional dengan pendekatan modern (teknokratis), tetapi pendekatan teknokratis tidak bisa berjalan secara maksimal antara lain karena gangguan pendekatan tradisonal.
Sistem birokrasi desa berbeda dengan sistem birokrasi negara, seperti ditegaskan di dalam Naskah Akademik UU Desa 2014. Birokrasi negara didisain dan dikelola teknokratis dan modern dari sisi rekrutmen, pembinaan, penggajian (remunerasi), organisasi, tata kerja, tupoksi, dan lain-lain. Birokrasi Desa didisain dan dikelola dengan sistem campuran antara pendekatan tradisional dengan pendekatan modern (teknokratis), tetapi pendekatan teknokratis tidak bisa berjalan secara maksimal antara lain karena gangguan pendekatan tradisonal.
Penjelasan-penjelasan di Naskah
Akademik UU Desa 2014 tersebut membuktikan ada perbedaan yang bermula dari
“sejarah”, bahwa desa memang berbeda dari negara. Sistem teknokrasi pengelolaan
negara tidak bisa diterapkan dalam sistem sosial birokrasi desa. Jika ditelaah
UU Desa 2014 dalam sistem tata pemerintahan desa terlihat dengan jelas bahwa
desa mau dibentuk menyerupai sistem teknokrasi negara.
BAB IV
PENUTUP
4. 1 Kesimpulan
Kedudukan
Desa tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 5 undang-undang tersebut, sebagai
berikut: “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan diterbitkannya UU Desa 2014
sesungguhnya yang sedang dikerjakan adalah “melakukan perubahan” untuk “desa”
khususnya untuk kemakmuran masyarakat desa. Bahwa untuk kemakmuran masyarakat
desa tersebut perlu dirancang sistem organisasi desa yang lebih baik, peraturan
pemilihan kepala dan perangkat desa yang lebih baik, pendekatan pembangunan
tentang desa secara lebih baik, pengaturan relasi antara desa dengan supra desa
lebih baik, penganggaran budget untuk desa secara lebih baik, semuanya memang
benar harus diatur.
4.2
Saran
Perubahan pengetahuan dan
ketrampilan masyarakat desa terkait dengan diberlakukannya UU Desa 2014 harus
menjadi “agenda utama” kegiatan. Pengucuran besaran dana harus dilakukan secara
bertahap (mulai dari sedikit menuju lebih banyak) sesuai dengan perkembangan
kapasitas dan ukuran justification cost yang terjadi di dalam masyarakat
desa bersangkutan. Samarata tentang dana desa merupakan pendekatan dan
pemikiran “paling bodoh” dalam konteks merancang sebuah perubahan sosial dan
kebudayaan di desa. Jika prinsip sama rata yang dikedepankan, diiringi
kemampuan peningkatan kapasitas yang lamban, maka sesungguhnya tidak lain
sedang dilaksanakan “Proyek UU Desa 2014”. Semuanya tidak akan menghasilkan
apa-apa selain keterpurukan desa menjadi lebih “tidak berdaya” dan “tidak
mandiri”.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 2005
Buku Qanun Kabupaten Bireuen
http://www.kompasiana.com/emil-e-elip/desa-uu-desa-2014-dan-perubahan-sosial_54f8258ca3331169638b4c2f
Ivan Mubarok. Implementasi Otonomi Desa Menurut UU
32/ 2004. http:// m.politikana.com /baca/ 2011/01/27/ implementasi-otonomi-desa-menurut-uu-no-32-2004
Laporan Kerja Harian (LKH) Kasie Pemerintahan
Kecamatan Makmur
Materi Pembahasan Pelatihan Kasie Pemerintahan
se-Kabupaten Bireuen yang diadakan di Banda Aceh pada tahun 2008
Ridwan HR. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada.
Romi
Librayanto. 2008. Trias
Politica Dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia. Makassar: PuKAP Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
194
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penyusunan karya tulis
ilmiah yang berjudul ” Pola Perubahan UU pada Pembentukan Peraturan Desa”
dapat selesai tepat pada waktunya.
Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada teladan kita Muhammad SAW yang telah menunjukkan
kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempurna dan menjadi
rahmat bagi seluruh alam.
Adapun karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
kelengkapan persyaratan Administrasi mengikuti Ujian Kenaikan Pangkat Penyesuaian
Ijazah Strata Satu (S.1) dalam lingkup Pegawai Negeri Sipil (PNS), mencari
materi penulisan Karya Tulis ini diambil dari buku Peraturan pemerintahan dan
Pasal-pasal yang menerapkan tentang Pelaksanaan Organisasi Pemerintah Desa.
Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan karya tulis ini jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan,
bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun, khususnya dari guru mata pelajaran guna menjadi
acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.
Kutablang,
24 Februari 2017
ADNAN
NIP. 19720706
201001 1 006
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR
ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Perubahan Undang-Undang Desa........................................................... 1
1.2 Peraturan
Desa......................................................................................... 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 4
2.1 Teori Kebijakan
Publik............................................................................. 4
2.3 Kondisi di daerah..................................................................................... 7
BAB III PEMECAHAN MASALAH................................................................. 12
3.1 Subtansi UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa................................... 12
3.2 Kedudukan Desa dan Kepala Desa dalam
Ketatanegaraan
Indonesia................................................................................................. 14
3.3 Dampak Perubahan Desa Setelah Lahirnya Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014............................................................................... 19
BAB IV PENUTUP......................................................................................... .... 23
4.
1 Kesimpulan.............................................................................................. 23
4.2
Saran......................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 25
POLA
PERUBAHAN UU PADA PEMBENTUKAN PERATURAN DESA
KARYA
TULIS
DI
S
U
S
U
N
OLEH:
ADNAN
NIP.
19720706 201001 1 006
PEMERINTAH
KABUPATEN BIREUEN
KECAMATAN
KUTABLANG
TAHUN
2017
Comments
Post a Comment