UU NOMOR 21 TAHUN 2008
OLEH:
NAMA :
NPM :
MK :
AH
SEMESTER :
PRODI :
INSTITUT AGAMA ISLAM ALMUSLIM
BIREUEN PROVINSI ACEH
FAKULTAS SYARIAH
TAHUN
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah swt karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah tentang “UU No. 21 tahun 2008” dengan baik
meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan kami juga berterima kasih pada
dosen mata kuliah yang telah membimbing penyusunan makalah ini.
Kami berharap makalah ini berguna
dalam menambah wawasan dan pengetahuan mengenai UU No.21 tahun 2008. Kami juga
menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami
bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik serta saran
yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Matangglumpangdua, 01 Agustus 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 1
C. Tujuan.............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 3
A. Landasan Hukum Perbankan
Syariah di Indonesia......................... 3
B. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah........................................... 5
BAB III PENUTUP...................................................................................... 15
A. Kesimpulan...................................................................................... 15
B. Saran................................................................................................ 15
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah cukup lama umat Islam
Indonesia, demikian juga belahan dunia Islam lainnya, menginginkan sistem
perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan prinsip syariah untuk dapat
diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi umat. Sebab
selama Islam hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah, diingat pada saat
kelahiran bayi, ijab kabul pernikahan, serta penguburan mayat, sementara itu
dimarginalkan dari dunia perbankan, asuransi, pasar modal, pembiayaan proyek,
dan transaksi ekspor impor maka umat Islam telah mengubur Islam dalam-dalam
dengan tangannya sendiri.
Sangat disayangkan, saat ini
masih banyak kalangan yang melihat bahwa Islam tidak berurusan dengan bank dan
pasar uang, karena yang pertama adalah dunia putih, sedangkan yang kedua adalah
dunia hitam, penuh tipu daya dan kelicikan. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan bila beberapa cendikiawan dan ekonom melihat Islam, dengan sistem
nilai dan tatanan normatifnya, sebagai faktor penghambat pembangunan.
Sekarang, saatnya para bankir yang
masih mengimani Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya dan hadits sebagai pedoman
aktivitasnya memperkenalkan kepada industri keuangan dan perbankan bahwa Islam
memiliki prinsip syariah yang dapat diterapkan dalam lembaga keuangan modern
dan membuktikan bahwa dengan sistem perbankan syariah, kita dapat menghilangkan
wabah penyakit negative spread “keuntungan minus” dari dunia
perbankan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah:
1.
Apakah landasan hukum
perbankan syariah di Indonesia?
2.
Bagaimana penjelasan
undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah?
C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas
adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah:
1.
Memberikan informasi kepada
pembaca agar mengetahui landasan hukum perbankan syariah di Indonesia
2.
Memberikan pengetahuan
kepada pembaca agar mengetahui isi dan penjelasan undang-undang Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Bank Syariah di
Indonesia mendapatkan pijakan yang kokoh setelah adanya deregulasi sektor
perbankan pada tahun 1983.Hal ini karena sejak saat itu diberikan keleluasaan
penentu tingkat suku bunga termasuk nol persen (perniagaan bunga sekaligus),
dengan demikian kesempatan ini belum termanfaatkan dengan baik karena tidak
diperkenankannya pembukaan kantor bank baru.
Kondisi diatas
berlangsung sampai tahun 1988 dimana pemerintah mengeluarkan Paket Oktober
(Pakto) 1988 yang memperkenankan berdirinya bank-bank baru. Kemudian posisi
perbankan syariah semakin pasti setelah disahkannya UU Perbankan No. 7 Tahun
1992 dimana bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan
diambil dari nasabahnya baik bunga ataupun keuntungan bagi hasil.
“Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya) Tafsir QS. Ar Ruum Ayat
39.
Barang siapa
yang memberikan sesuatu kepada seseorang dengan harapan orang itu akan membalas
dengan pemberian yang lebih banyak daripada yang telah diberikannya, maka
pemberian yang demikian tidak berpahala di sisi Allah. Sedangkan orang yang
memberikan zakat kepada seseorang dengan tujuan untuk mendapatkan keridhaan
Allah, maka akan dilipatgandakan pahala dan balasan si pemberinya oleh Allah.
Dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1992 Tentang Bank Bagi Hasil
yang secara tegas memberikan batasan bahwa “Bank bagi hasil tidak boleh
melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (bunga)
sebaliknya pula bank yang kegiatan usaha tidak berdasarkan prinsip bagi hasil
tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil”
(pasal 6), maka jalan bagi operasional Perbankan Syariah semakin luas.
Bank Indonesia
mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 25/4/BPPP tanggal 29
Februari 1993 yang menegaskan:[13]
1) Bank berdasarkan bagi hasil adalah bank umum dan bank
perkreditan rakyat yang melakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi
hasil.
2) Prinsip bagi hasil yang dimaksud adalah prinsip bagi
hasil yang berdasarkan syariah.
3) Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki
Dewan Pengawas Syariah (DPS).
4) Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan usaha yang tidak
berdasarkan prinsip bagi hasil.
Dengan
Demikian, UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan tersebut dinilai belum
memberikan payung hukum yang kuat terhadap perkembangan Perbankan Syariah di
Indonesia, mengingat belum ada ketegasan pemberlakuan prinsip syariah.
Penggunaan istilah bagi hasil dalam Perundang-undangan pada saat itu belum
mencakup secara tepat pengertian Perbankan Syariah yang memiliki cakupan lebih
luas. Karena itu melalui lembaran negara Republik Indonesia No. 182 tanggal 10
November 1998 disahkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang
memuat perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menambah pasal
tentang Bank Syariah, menambah beberapa pasal terkait perbankan syariah,
mengenalkan prinsip syariah (Pasal 1 dan beberapa pasal lainnya) dan
mengenalkan prinsip mudharabah, musyarakah, murabahah dan ijarah (Pasal 1).
Ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 1998 ini menunjukkan dimulainya era sistem
perbankan ganda (dual banking system) yang diharapkan akan mempercepat
perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia. Di era ini, bagi Bank Umum
Konvensional dapat memberikan layanan syariah melalui pembentukan UUS.
Sementara BPR hanya boleh memberikan layanan secara konvensional atau secara
syariah.
Saat ini, titik
kulminasi (puncak tertinggi) landasan hukum perbankan Syariah telah tercapai
dengan disahkannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,
yang membuka kesempatan bagi siapa saja yang akan mendirikan Bank Syariah maupun
yang ingin mengonversi dari sistem konvensional menjadi Sistem Syariah.
1.
Pendirian kantor cabang atau di
bawah kantor cabang baru, atau
2.
Pengubahan kantor cabang atau di
bawah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi
kantor yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
B. Penjelasan
Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah
1. Umum
Sebagaimana diamanatkan
oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
tujuan pembangunan nasional adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur,
berdasarkan demokrasi ekonomi, dengan mengembangkan sistem ekonomi yang
bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan. Guna mewujudkan tujuan
tersebut,pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional diarahkan pada perekonomian
yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri,handal, berkeadilan, dan
mampu bersaing di kancah perekonomian internasional.
Agar tercapai tujuan
pembangunan nasional dan dapat berperan aktif dalam persaingan global yang sehat, diperlukan
partisipasi dan kontribusi semua elemen masyarakat untuk menggali berbagai
potensi masyarakat guna mendukung proses akselerasi ekonomi dalam upaya merealisasikan
tujuan pembangunan nasional. Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud
kontribusi masyarakat dalam perekonomian nasional adalah pengembangan sistem
ekonomi berdasarkan nilai Islam (Syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya
ke dalam Sistem Hukum Nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai
keadilan,kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil
‘alamin).Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan berdasarkan
Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah. Prinsip Perbankan Syariah
merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu
prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya dan
menggunakan prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, Bank Syariah dapat
menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling
berbagi keuntungan maupun potensi risiko sehingga akan menciptakan posisi yang
berimbang antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong
pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya dinikmati oleh
pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal. Perbankan Syariah sebagai
salah satu sistem perbankan nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar
dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional.
Salah satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadai dan
sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut di antaranya dituangkan
dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Pembentukan Undang-Undang Perbankan
Syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaan bagi berkembangnya lembaga tersebut.
Pengaturan mengenai Perbankan Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan
Syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha Bank Syariah
berkembang cukup pesat.
Guna menjamin kepastian
hukum bagi stakeholders dan memberi keyakinan kepada masyarakat
dalam menggunakan produk dan jasa Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan
Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan
usaha,penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS (bagian dari
Bank Umum Konvensional). Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada
masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah
selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir,
gharar, haram dan zalim.
Sebagai undang-undang
yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai
masalah kepatuhan syariah(syariah compliance) yang kewenangannya
berada pada Majelis Ulama Indonesia(MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan
Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan
UUS. Untuk menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam Peraturan
Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk komite perbankan
syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari Bank Indonesia,
Departemen Agama dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang.
Sementara itu,
penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada perbankan syariah, akan
dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Di samping itu,
dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi
perbankan, lembaga arbitrase atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan
Umum sepanjang disepakati di dalam Akad oleh para pihak. Untuk menerapkan
substansi undang-undang perbankan syariah ini,maka pengaturan terhadap UUS yang
secara korporasi masih berada dalam satu entitas dengan Bank Umum Konvensional,
di masa depan,apabila telah berada pada kondisi dan jangka waktu tertentu
diwajibkan untuk memisahkan UUS menjadi Bank Umum Syariah dengan memenuhi tata
cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
Sehubungan dengan hal
tersebut, pengaturan tersendiri bagi Perbankan Syariah merupakan hal yang
mendesak dilakukan, untuk menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip Syariah,
prinsip kesehatan Bank bagi Bank Syariah, dan yang tidak kalah penting
diharapkan dapat memobilisasi dana dari negara lain yang mensyaratkan
pengaturan terhadap Bank Syariah dalam undang-undang tersendiri.
2.
Per Pasal
Bab I berisi tentang Ketentuan Umum
UU No.21 tahun 2008
menjelaskan mengenai Perbankan syariah, pada Bab 1 pasal 1 berisi mengenai
ketentuan umum yang terdiri dari pengertian : Perbankan Syariah, Bank, Bank
Indonesia, Bank Konvensional, Bank umum Konvensional, Bank Perkreditan Rakyat,
Bank Syariah, Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Unit Usaha
Syariah, Kantor Cabang, Prinsip Syariah, Akad, Rahasia Bank, Pihak Terafiliasi,
Nasabah, Nasabah Penyimpanan, Nasabah penerima fasilitas, Simpanan, Tabungan,
Deposito, Giro, Investasi, Pembiayaan, Agunan, Penitipan, Wali Amanat,
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Pemisahan.
Bab II berisi tentang Asas, Tujuan, dan Fungsi
Bab II terdiri dari 3
pasal, pada bagian pertama membahas mengenai Asas Perbankan. Perbankan syariah
dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi
dan prinsip ke hati-hatian. Tujuan Perbankan Syariah adalah menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan,
kebersamaan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Sedangkan fungsi Bank Syariah
adalah :
a.
Bank Syariah dan UUS
wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
b.
Bank Syariah dan UUS
dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal
c.
Bank Syariah dan UUS
dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada
pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
d.
Pelaksanaan fungsi
sosial sebagaimana dimaksud pada ayat(2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bab III akan dijelaskan tentang Perizinan, Bentuk Badan
Hukum, Anggaran Dasar, dan Kepemilikan
Setiap pihak yang akan
melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib memperoleh izin usaha
sebagai Bank Syariah atau UUS dari Bank Indonesia. Dengan syarat harus memenuhi
sekurang-kurangnya: susunan organisasi dan
kepengurusan, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang
Perbankan Syariah dan kelayakan usaha. Bentuk badan hukum Bank Syariah
adalah perseroan terbatas. Di dalam anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhi
persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan
memuat pula ketentuan:
a.
Pengangkatan anggota
direksi dan komisaris harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia.
b.
Rapat Umum Pemegang
Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas manajemen,remunerasi komisaris dan direksi,
laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukan dan biaya jasa akuntan publik,
penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank
Indonesia.
Pendirian dan
kepemilikan Bank Syariah
a. Bank Umum Syariah hanya
dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
(1) Warga negara Indonesia
dan/atau badan hukum Indonesia
(2) Warga negara Indonesia
dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum
asing secara kemitraan; atau
(3) Pemerintah daerah.
b. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
1)
Warga negara Indonesia
dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga Negara Indonesia
2)
Pemerintah daerah
3)
Dua pihak atau lebih
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
c.
Maksimum kepemilikan
Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia.
Bab IV berisi tentang jenis dan kegiatan usaha,
kelayakan penyaluran dana dan larangan bagi Bank Syariah dan UUS
Bank Syariah terdiri
atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Kegiatan usaha Bank
Umum Syariah menghimpun dan menyalurkan dana pihak ketiga serta memberikan
fasilitas letter of credit atau bank garansi sesuai prinsip syariah dan
melakukan fungsi sebagai wali amanat berdasarkan akad wakalah. Bank
Umum Syariah dilarang:
1.
Melakukan kegiatan
usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah
2.
Melakukan kegiatan jual
beli saham secara langsung di pasar modal
3.
Melakukan penyertaan
modal
4.
Melakukan kegiatan
usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.
Sedangkan UUS
dilarang:
1.
Melakukan kegiatan
usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah
2.
Melakukan kegiatan jual
beli saham secara langsung di pasar modal
3.
Melakukan penyertaan
modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c
4.
Melakukan kegiatan
usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.
Bab V berisi tentang pemegang saham pengendali, dewan
komisaris, dewan pengawas syariah, direksi, dan tenaga kerja asing
Calon pemegang saham
pengendali Bank Syariah wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan
oleh Bank Indonesia. Dan pemegang saham pengendali yang tidak lulus uji kemampuan
dan kepatutan wajib menurunkan kepemilikan sahamnya menjadi paling banyak 10%
(sepuluh persen).Ketentuan mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan,tanggung
jawab, serta hal lain yang menyangkut dewan komisaris dan direksi Bank Syariah
diatur dalam anggaran dasar Bank Syariah sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. Dewan
Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang
memiliki UUS. Dewan pengawas Syariah diangkat oleh rapat umum pemegang
saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. Tugas Dewan Pengawas Syariah
adalah memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan
Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah. Dalam menjalankan kegiatannya, Bank
Syariah dapat menggunakan tenaga kerja asing. Tata cara penggunaan tenaga
kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Bab VI berisi tentang tata kelola, prinsip ke hati-hatian
dan pengelolaan risiko Perbankan Syariah
Bank Syariah dan UUS
wajib menerapkan tata kelola yang baik yang mencakup prinsip transparansi,
akuntabilitas,pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalam menjalankan
kegiatan usahanya. Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib
menerapkan prinsip ke hati-hatian. Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan
kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan
laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip
akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu
dan bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Bank Syariah dan UUS
wajib menerapkan manajemen risiko,prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan
nasabah.
Bank Syariah dan UUS
wajib menjelaskan kepada Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian
sehubungan dengan transaksi Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah
dan/atau UUS.
Bab VII berisi tentang rahasia bank
Bank dan Pihak
Terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan
Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya. Informasi Bank dapat
disampaikan ke pihak lain yang berkepentingan jika digunakan untuk :
1.
Untuk kepentingan
penyidikan pidana perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri
Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan
keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis serta surat mengenai keadaan
keuangan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tertentu kepada pejabat pajak.
2.
Untuk kepentingan
peradilan dalam perkara pidana,pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin
kepada polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan
undang-undang untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai Simpanan atau
Investasi tersangka atau terdakwa pada Bank.
3.
Dalam perkara perdata
antara Bank dan Nasabahnya, direksi Bank yang bersangkutan dapat
menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan Nasabah yang bersangkutan
dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.
Bab VIII berisi tentang pembinaan dan pengawasan
Pembinaan dan
pengawasan Bank Syariah dan UUS dilakukan oleh Bank Indonesia. Dalam rangka
pelaksanaan tugas pengawasan Bank Indonesia berwenang:
1.
Memeriksa dan mengambil
data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan Bank
2.
Memeriksa dan mengambil
data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian Bank
Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank
3.
Memerintahkan Bank
melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening Simpanan maupun rekening
Pembiayaan.
Bab IX berisi tentang penyelesaian sengketa
Penyelesaian sengketa
dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan akad dan juga tidak boleh bertentangan dengan
Prinsip Syariah.
Bab X berisi tentang sanksi administratif
Bank Indonesia
menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan
komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank
Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi
dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau
tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang ini. Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif kepada Bank
Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah,
direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang
memiliki UUS yang melanggar Pasal 41 dan Pasal 44. Sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah:
1.
denda uang
2.
teguran tertulis
3.
penurunan tingkat
kesehatan Bank Syariah dan UUS
4.
pelarangan untuk turut
serta dalam kegiatan kliring
5.
pembekuan kegiatan
usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk Bank Syariah dan
UUS secara keseluruhan
6.
pemberhentian pengurus
Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, dan selanjutnya
menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham
mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia
7.
Pencantuman anggota
pengurus, pegawai, dan pemegang saham Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional
yang memiliki UUS dalam daftar orang tercela di bidang perbankan
8.
Pencabutan izin usaha.
Bab XI berisi tentang ketentuan pidana.
a.
Setiap orang yang
melakukan kegiatan usaha Bank Syariah,UUS, atau kegiatan penghimpunan dana
dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin
usaha dari Bank Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15(lima belas)tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00
(dua ratus miliar rupiah).
b.
Setiap orang yang
dengan sengaja tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Bank Indonesia
memaksa Bank Syariah, UUS,atau pihak terafiliasi untuk memberikan
keterangan,dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus
miliar rupiah).
c.
Anggota dewan
komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang
memiliki UUS yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib
dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikitRp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)
dan paling banyakRp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
d.
Anggota dewan komisaris,
direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki
UUS yang dengan sengaja:
a)
Tidak menyampaikan
laporan keuangan
b)
Tidak memberikan
keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
e.
Anggota dewan komisaris,
direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki
UUS yang dengan sengaja:
a)
Membuat atau
menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen
atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu
Bank Syariah atau UUS
b)
Menghilangkan atau
tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan
atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan
transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS
c)
mengubah, mengaburkan,
menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam
pembukuan atau dalam laporan,dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan
transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS, atau dengan sengaja
mengubah,mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan
pembukuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
d)
Pihak Terafiliasi yang
dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS terhadap
ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam UU No.21
tahun 2008 mengenai Perbankan Syariah mengemukakan pengertian perbankan
syariah dan pengertian bank syariah. Perbankan Syariah yaitu segala
sesuatu yang menyangkut bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup
kelembagaan, mencakup kegiatan usaha, serta tata cara dan proses di dalam
melaksanakan kegiatan usahanya. Bank Syariah adalah bank yang menjalankan
kegiatan usahanya dengan didasarkan pada prisnsip syariah dan menurut jenisnya
bank syariah terdiri dari BUS (Bank Umum Syariah), UUS (Unit Usaha Syariah) dan
BPRS (Bank Pembiayaan Rakyat Syariah).
Perbankan
Syariah merupakan bank yang kegiatannya mengacu pada hukum islam dan dalam
kegiatannya tidak membebankan bunga maupun tidak membayar bunga kepada nasabah.
Imbalan bank syariah yang diterima maupun yang dibayarkan pada nasabah
tergantung dari akad dan perjanjian yang dilakukan oleh pihak nasabah dan pihak
bank. Perjanjian (akad) yang terdapat di perbankan syariah harus tunduk pada
syarat dan rukun akad sebagaimana diatur dalam syariat islam.
B. Saran
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, Kami sadar
dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik, saran, atau masukan dari Bapak/Ibu dan teman-teman semua
demi sebuah perubahan menuju arah yang lebih baik. Mudah-mudahan makalah ini
dapat sedikit menambah pengetahuan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, 2009. Perbankan
Syariah. Jakarta : Ghalia Indonesia,
Antonio, M. Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari
Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani Press
Dahlan, Ahmad. 2012 Bank
Syariah. Yogyakarta:Teras.
Hasibuan Malayu. 2008 Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI,
Ismail. 2013. Perbankan Syariah Jakarta: Penerbit
Kencana Prenada Media Group,
Sinar Grafika, Redaksi.
2008. Undang Undang perbankan Syariah. cet 1 Jakarta : Sinar
Grafika,
Wibisono, Yusuf 2009. Politik Ekonomi UU
Perbankan Syariah Peluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syariah,
Skripsi, Depok : Universitas Indonesia.
Comments
Post a Comment