Aceh dan Moment Maulidnya
Oleh : Nurul Hidayati
Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, Aceh merupakan salah satu wilayah yang
menyambutnya dengan meriah. Mulai dari hari pertama yaitu 12 rabiul awal bahkan
sampai beberapa bulan setelahnya, Maulid masih diperingati di beberapa daerah aceh.
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya perayaan hari
lahir Nabi akhir zaman ini merupakan suatu moment yang memang ditunggu sebagian
besar rakyat Aceh.
sumber : www.google.go.id |
Ada beberapa alasan yang memang menjadikan maulid selalu menjadi ajang yang
dinantikan, diantaranya ialah salah satu moment mengenang perjuangan Rasulullah,
tempat bersilaturrahmi untuk masyarakat, bisa juga untuk ladang bersedekah bagi orang-orang yang
mampu, atau digunakan sebagai tempat perbaikan gizi bagi warga kurang mampu
maupun perantau. Bahkan tak jarang maulid dilaksanakan sebagai tempat pamer harta atau
semacamnya, semakin mewah kegiatannya maka semakin terlihat kayalah orang
tersebut.
Maulid bagi rakyat Aceh sudah merupakan suatu hari besar yang perayaannya
sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Biasanya kurang lebih sebulan sebelum hari
itu diperingati, masyarakat suatu gampong sudah melaksanakan rapat untuk
menentukan kapan maulid akan diadakan di gampoeng tersebut.
Peringatan Maulid Nabi tidak dilaksanakan serentak pada tanggal 12 rabiul awal disemua
daerah. Perayaan tersebut dilaksanakan bergilir tiap gampoengnya, walaupun ada
juga yang satu dua melaksanakannya serentak.
Prosesi maulid sendiri pun berbeda di tiap daerahnya. Hal ini dipengaruhi
oleh budaya dan adat istidat masyarakat di daerah itu. Namun biasanya maulid
itu selalu disertai dengan acara dikee (dzikir),
khanduri di Meunatsah gampoeng (acara
makan-makan mushalla kampung) serta ditutup dengan dakwah islamiah oleh
teungku-teungku (udztad-udztad) dari berbagai wilayah di Aceh. Dakwah ini juga
lazimnya dimulai dengan menceritakan kisah-kisah perjuangan Nabi Muhammad SAW
serta diiringi dengan penyampaiannya yang jenaka.
Ada berbagai simpang tindih pendapat memang ketika penyampaiah dakwah
jenaka ini, bagi masyarakat awam mungkin ini memang suatu hiburan bagi mereka
tapi sebagian masyarak lagi yang pikirannya mulai kritis menilai, penyampaina
dakwah jenaka ini kurang tepat. Penyebabnya bukan karena lucunya tetapi
terkadang da’i-da’i ini sering lupa, bahasa yang mereka gunakan
terlampau kasar atau tidak sopan ketika mengandaikan
suatu hal yang buruk atau tercela. Barangkali mereka alpa satu hal, yaitu ada
anak-anak kecil dan pemuda juga yang hadir di malam dakwah tersebut. Anak-anak
dan pemuda labil ini cenderung lebih memfokuskan hal-hal jenaka tersebut untuk
didengar ketimbang mengambil manfaat dari isi ceramah itu. Mereka tidak
memilah-milah lagi mana kata yang pantas atau tidaknya untuk diucapkan setelah
pulang dari dakwah ini. Asal kata-kata itu lucu dan keluar dari mulut teungku,
langsung saja ditelan dan dipraktikkan keluar bersama teman-temannya sebagai
bahan lelucon. Kalau sudah begini siapa yang harus disalahkan?
Comments
Post a Comment