Situasi sejumlah kota di Papua Barat dan Papua bergejolak pada pekan ini karena ada gelombang aksi massa. Banyak masyarakat di sana memprotes persekusi dan diskriminasi bernuansa rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Di Jayapura, ribuan massa sempat berunjuk rasa dengan melalukan long march sepanjang 18 km dari Waena, pusat keramaian di kota itu, menuju kantor gubernur Papua.
Mereka menuntut diskriminasi rasial terhadap orang Papua dihentikan. Sementara di Manokwari, aksi massa yang melibatkan ribuan orang juga terjadi dan berujung pada kerusuhan serta pembakaran Gedung DPRD setempat. Adapun di Sorong, sebuah kota pantai di ujung kepala burung Papua, fasilitas publik seperti bandara dirusak, termasuk mobil-mobil yang diparkir di sana. Kerusuhan juga merembet ke pembakaran gedung penjara di Sorong.
Senator asal Papua Yorrys Raweyai menilai kerushan yang terjadi di Papua dan Papua Barat seperti sudah didesain. Bahkan, ia menaruh curiga salam setengah hari saja kericuhan di asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur langsung membuat beberapa wilayah di Papua dan Papua Barat bergejolak.
Menurutnya, hal tersebut tidak terjadi secara alami. “Ini yang kadang-kadang ini pasti desain, saya gak mau masuk ke situ. Secara umum didesain pasti. Karena begitu cepat sekali,” kata Yorrys yang juga Politikus Golkar, kepada wartawan, Sabtu (24/8/2019).
Aksi ini menjadi respons masyarakat Papua terhadap tindakan rasisme yang menimpa mahasiswa asal Papua di Malang dan Surabaya beberapa waktu lalu.
Pada Jumat (16/8/2019) secara tiba-tiba sekitar 15 anggota yang berasal dari TNI mendatangi asrama mereka di Surabaya. Dorlince Iyowau saat dihubungi Tirto, Sabtu malam, pukul 21.30 WIB mengatakan tanpa permisi mereka menggedor gerbang asrama. Hal itu membuat kaget 15 mahasiswa, termasuk Dorli, yang berada di dalamnya.
Menurut Dorli sekitar pukul 15.20 WIB TNI mendobrak pintu disertai ujaran rasis dan kebencian. Sikap arogan TNI tersebut, menurut Dorli, ditenggarai oleh bendera merah putih milik pemerintah kota Surabaya yang terpasang di depan asrama mereka, tiba-tiba sudah berada di dalam saluran air. Sementara Dorli mengaku, ia dan kawan-kawannya tak tahu soal hal itu. "Karena kami tidak tahu soal itu [bendera merah putih] di dalam got. Kami minta bernegosiasi. Tapi TNI menolak," ujarnya.
"Dalam dua hari pemasangan [bendera itu] masih baik-baik saja. Munculnya permasalahan itu pada 16 Agustus kemarin tiba-tiba ada di got."
Setelah TNI tiba dan menggedor gerbang asrama mahasiswa Papua, menurut Dorli, datang lagi secara bertahap pihak Satpol PP dan organisasi masyarakat. Dalam kondisi terkepung, Dorli mengaku harus menahan lapar, begitu juga dengan belasan kawan-kawan lainnya.
Hingga akhirnya datanglah 27 mahasiswa Papua lainnya, yang hendak membawakan makanan untuk mereka pada Sabtu siang tadi, sekitar pukul 12.00 WIB. Dorli dan 41 mahasiswa Papua lainnya bertahan hingga pukul 15.00 WIB, sebelum akhirnya mendapat serangan gas air mata dan mendekam di Mapolrestabes Surabaya.
Kemarahan masyarakat Papua ini karena ada caci maki yang dilakukan ormas di Surabaya, selain itu, polisi juga memaksa masuk asrama yang mereka tempati. Mereka digelandang ke Mapolres Surabaya untuk diperiksa terkait dugaan perusakan bendera yang diadukan ke kepolisian pada 16 Agustus.
Dikutip dari berbagai sumber
Comments
Post a Comment