Skip to main content

POLA PERUBAHAN UU PADA PEMBENTUKAN PERATURAN DESA

POLA PERUBAHAN UU PADA PEMBENTUKAN PERATURAN DESA




KARYA TULIS


DI
S
U
S
U
N

OLEH:


XXXXXXXX
NIP. 19720706 XXXXXXXX




dddd.png




PEMERINTAH KABUPATEN BIREUEN
KECAMATAN KUTABLANG

TAHUN 2017

KATA PENGANTAR
download.png
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penyusunan karya tulis ilmiah yang berjudul ” Pola Perubahan UU pada Pembentukan Peraturan Desa” dapat selesai tepat pada waktunya.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada teladan kita Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempurna dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Adapun karya tulis ilmiah ini  bertujuan untuk memenuhi salah satu kelengkapan persyaratan Administrasi mengikuti Ujian Kenaikan Pangkat Penyesuaian Ijazah Strata Satu (S.1) dalam lingkup Pegawai Negeri Sipil (PNS), mencari materi penulisan Karya Tulis ini diambil dari buku Peraturan pemerintahan dan Pasal-pasal yang menerapkan tentang Pelaksanaan Organisasi Pemerintah Desa.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan karya tulis ini jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari guru mata pelajaran guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik  di masa yang akan datang.
                                                                                    Kutablang, 24 Februari 2017


XXXXXX
NIP. 19720706 XXXXXXX



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1  Perubahan Undang-Undang Desa........................................................... 1
1.2 Peraturan Desa......................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 4
2.1 TeorKebijakaPublik............................................................................. 4
2.3 Kondisi di daerah..................................................................................... 7
BAB III PEMECAHAN MASALAH................................................................. 12
3.1 Subtansi UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa................................... 12
3.2  Kedudukan Desa dan Kepala Desa dalam Ketatanegaraan
       Indonesia................................................................................................. 14
3.3 Dampak Perubahan Desa Setelah Lahirnya Undang-Undang
      Nomor 6 Tahun 2014............................................................................... 19
BAB IV PENUTUP......................................................................................... .... 23
4. 1 Kesimpulan.............................................................................................. 23
4.2 Saran......................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 25



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Perubahan Undang-Undang Desa
Undang-undang yang mengatur mengenai Pemerintahan Desa terus mengalami perubahan, sejak diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan  Daerah  dan  Peraturan  Pemerintah  No.  72  Tahun  2005  Tentang Desa, serta yang terakhir dan belum lama ini disahkan adalah Undang – Undang yang khusus mengatur regulasi dan pemberian kewenangan lebih terhadap Pemerintahan Desa yakni UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa dan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 tentang Desa untuk mengatur dan mengelola sumber daya yang ada di desa, baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang ditujukan untuk menjadikan desa lebih mandiri dan dapat  memberikan  kesejahteraan  masyarakatnya.  Perubahan  regulasi  ini  juga menyebabkan perubahan struktur dan pola pemerintahan pada level desa.
Perubahan – perubahan yang terjadi terhadap undang – undang mengenai desa ini  memiliki  dampak  yang sangat  signifikan  seperti  yang terjadi  setelah diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1974 pada masa orde baru, salah satu dampaknya adalah penyeragaman semua model Pemerintahan terendah di seluruh Indonesia menjadi bentuk Pemerintahan Desa yang pada dasarnya berasal dari budaya jawa yang dipimpin oleh seorang kepala desa. Setelah terbitnya UU No. 5 Tahun 1974 ini,   perubahan   yang   terjadi   pada   Pemerintahan   terendah   bukan   sekedar berubahnya nama wilayah melainkan lebih jauh lagi hingga menyentuh perubahan tatanan, struktur, dan pola pemerintahan yang telah terlebih dahulu ada sebelum terbitnya UU No. 5 Tahun 1974 tersebut. Hal ini menyebabkan pemerintahan – pemerintahan adat yang telah lebih dahulu ada seperti Nagari di Minangkabau, Gampong di Aceh, Nagori di Simalungun dan lain – lain yang ada di seluruh Indonesia  dilebur  kedalam  satu  Sistem  Pemerintahan  terendah  yang  disebut sebagai desa.

1.2 Peraturan Desa
Berdasarkan prinsip desentralisasi dan  otonomi daerah, Desa atau yang disebut dengan nama lain diberi kewenangan untuk mengatur dan  mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan  adat istiadat setempat yang diakui dan  dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rangka pengaturan kepentingan masyarakat, maka guna meningkatkan kelancaran dalam penyelenggaraan, pelaksanaan pembangunan dan  pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan perkembangan dan tuntutan reformasi serta dalam rangka mengimplementasikan pelaksanaan UU No. 32 Th. 2004, ditetapkanlah Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Peraturan Desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa, dengan demikian maka Peraturan Desa harus merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, serta harus memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat, dalam upaya mencapai tujuan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat jangka panjang, menengah dan jangka pendek.
Peraturan Desa dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (Pasal 2 Permendagri NO 29 Tahun 2006), meliputi:
a.       kejelasan tujuan;
b.      kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c.       kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d.      dapat dilaksanakan;
e.       kedayagunaan dan  kehasilgunaan;
f.       kejelasan rumusan, dan 
g.      keterbukaan.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Kebijakan Publik
Pada dasarnya terdapat banyak batasan dan defenisi mengenai apa  yang dimaksud  dengan  kebijakan  publik  (public  policy).  Masing-masing  defenisi tersebut  memberi  penekanan  yang berbeda-beda.  Perbedaan  itu  timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang beragam.
Menurut Chander dan Plano kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya–sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataannya kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus  menerus  oleh  pemerintah  demi  kepentingan  kelompok   yang  kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.
Sementara menurut Heglo kebijakan adalah suatu tindakan yang bermaksud untuk   mencapai   suatu   tujuan–tujuan   tertentu.   Anderson   mendefinisikan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Sedangkan menurut Woll kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah  untuk  memecahkan  masalah  di  masyarakat,  baik  secara  langsung maupun  melalui  lembaga  yang  mempengaruhi  kehidupan  masyarakat.  Dalam pelaksanaan kebijakan publik terdapat tiga tingkat pengaruh sebagai implikasi dari tindakan – tindakan  pemerintah yaitu:
a.         Adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh politisi, pegawai  pemerintah  atau  yang  lainnya  yang  bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat.
b.         Adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat.
c.         Adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan para ahli tersebut bahwa dapat diperoleh gambaran awal mengenai konsep kebijakan publik yakni merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan suatu masalah yang terjadi di masyarakat dengan memanfaatkan berbagai sumber daya- sumber  daya  yang  ada  untuk  mencapai  tujuan  tertentu  yang  telah  ditetapkan sebelumnya.
Konsep kebijakan publik ternyata juga dimaknai dan dirumuskan secara beragam. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar defenisi yang dikemukakan dipengaruhi oleh masalah-masalah tertentu yang ingin dilihat. Pandangan pertama, ialah pendapat para ahli yang mengidentikkan kebijakan publik dengan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah. Beranggapan bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya disebut sebagai kebijakan publik.
Kebijakan publik juga dapat diartikan sebagai suatu tujuan tertentu, atau serangkaian asas tertentu, atau tindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan suatu subjek atau sebagai respon terhadap keadaan yang kritis. R. Dye merumuskan kebijakan publik sebagai semua pilihan atau tindakan yang dilakukan pemerintah. Dalam hal ini Dye beranggapan bahwa kebijakan publik itu menyangkut pilihan-pilihan apapun yang dilakukan oleh  pemerintah,  baik  untuk  melakukan  sesuatu  ataupun  untuk  tidak  berbuat sesuatu.
Pandangan yang kedua, ialah pendapat para ahli yang memusatkan perhatian pada implementasi kebijakan (policy implementation). Mereka melihat kebijakan  publik  sebagai  keputusan-keputusan  yang  mempunyai  tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran tertentu dan mempunyai dampak dan akibat-akibat yang diramalkan (predictable), atau dapat diantisipasikan sebelumnya.
Proses pembuatan suatu kebijakan diawali dengan penyusunan agenda yang menempatkan berbagai masalah ke dalam sebuah agenda kebijakan yang selanjutnya akan dibahas oleh para pembuat kebijakan untuk menghasilkan alternatif pemecahan masalah yang akan dibahas pada tahap formulasi kebijakan. Setelah memperoleh alternatif terbaik, maka alternatif tersebut dirumuskan ke dalam bentuk kebijakan yang selanjutnya akan diimplementasikan oleh para pelaksana  kebijakan14.Kebijakan  yang  telah  dilaksanakan  tersebut  selanjutnya akan dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah.

2.2 Tujuan Peraturan Daerah
Sebelum dijelaskan mengenai tujuan dari pembuatan Peraturan Daerah, maka terlebih dahulu penulis akan memaparkan tentang tujuan hukum yang di kemukakan oleh para pakar. Menurut O. Notohamijojo (1970:80) merumuskan tujuan hukum yaitu sebagai berikut :
Melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat, (dalam arti luas yang mencakup lembaga-lembaga sosial di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan) atas dasar keadilan, untuk mencapai keseimbangan serta damai dan kesejahteraan umum.  
Sedangkan menurut Mahadi (1994:32) bahwa tujuan hukum yang semestinya dicapai yaitu “ mengadakan keselamatan dan tata tertib dalam suatu masyarakat”.
Berdasarkan beberapa pengertian dan konsep dari tujuan hukum tersebut di atas, maka peraturan daerah yang merupakan produk perundang-undangan pemerintah daerah bertujuan untuk mengatur hidup bersama, melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, menjaga keselamatan dan tata tertib masyarakat di daerah yang bersangkutan sehingga dengan demikian pada dasarnya peraturan daerah adalah merupakan sarana komunikasi timbal balik antara Kepala daerah dengan masyarakat di daerahnya, oleh karena itu setiap keputusan yang penting dan menyangkut pengaturan dan pengurusan rumah tangga daerah yang tertuang dalam peraturan daerah harus mengikutsertakan masyarakat yang bersangkutan. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 139 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang tertulis bahwa :
(1)      Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan PERDA.
(2)      Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan PERDA berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.
Dengan dilibatkannya masyarakat dalam proses pembuatan rancangan peraturan daerah, maka diharapkan nantinya setelah rancangan peraturan daerah tersebut disahkan menjadi peraturan daerah dapat mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat sehingga tujuan yang diingin dicapai dapat terwujud dan juga tidak ada hak-hak masyarakat terabaikan.
Namun fenomena yang terjadi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan rancangan peraturan daerah masih banyak yang belum terealisasi sehingga akibatnya adalah banyak peraturan daerah yang dalam pelaksanaannya menimbulkan permasalahan. Di sinilah peranan bagian hukum sangat diharapkan untuk mengantisipasi agar kejadian tersebut tidak terjadi karena bagian hukum sebagai pelaksana teknis dalam membantu tugas Kepala Daerah untuk membuat suatu rancangan peraturan daerah.
Idealnya bahwa untuk menghasilkan produk peraturan daerah yang baik dan dapat berlaku efektif, maka segenap komponen masyarakat harus dilibatkan, olehnya perangkat di daerah utamanya bagian hukum harus lebih pro aktif dalam menyerap aspirasi masyarakat untuk kemudian dituangkan dalam rancangan peraturan daerah yang akan diatur, tetapi terkadang pula ditemukan bahwa aspirasi masyarakat tidak didengarkan oleh mereka yang mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan daerah sehingga hasilnya juga tidak maksimal dalam arti peraturan daerah tidak berlaku efektif. 

2.3 Kondisi di Daerah.
Di berbagai sosialisasi RAPERDA, sering kita mendengar argumen bahwa untuk menyelesaikan permasalahan tertentu perlu segera ditetapkan sebuah perda atau payung hukum yang sesuai dengan situasi daerah setempat, tetapi argumen itu sendiri sering tidak menyebutkan secara jelas apa masalah faktual yang dimaksud dan mengapa harus dalam bentuk sebuah perda.
Sebenarnya cukup mudah untuk mengkaji apakah sebuah perda memang dibutuhkan atau tidak. Hal tersebut dapat dianalisa melalui Indikator Regmap yang dikeluarkan oleh Bappenas bekerja sama dengan Senada.
Pertama, sudah ada atau belum ada aturan yang mengatur tentang bidang terkait. Jika sudah apa peraturan yang mengatur, untuk apa dibuat aturan yang baru. Kedua: masalah yang timbul akibat kurang lengkapnya aturan atau karena aturan tersebut belum dilaksanakan dengan benar. Jika penyebab masalah adalah belum dilaksanakannya aturan secara benar seharusnya diadakan pendidikan atau sosialisasi kepada aparat. Ketiga: kesesuaian antara tujuan pembuatan perda yang tercantum di dalam konsiderans menimbang dengan mekanisme yang terdapat dalam batang tubuh perda. Mekanisme dimaksud adalah rumusan norma di dalam batang tubuh perda. Keempat: Apa potensi dampak dan dampak bagi masyarakat jika sebuah perda ditetapkan. Tentunya dampak positif atau negatif tersebut harus jelas ukurannya, bukan berdasarkan perasaan subjektif penyusun perda.
Dari berbagai perda atau RAPERDA yang pernah ditemui, banyak mekanisme yang dirumuskan justru tidak menyelesaikan masalah utama. Norma-norma di dalam perda lebih banyak mengutip peraturan perundang-undangan di tingkat pusat, sedangkan muatan lokal/masalah lokal hanya tempelan dan belum jelas arah penyelesaiannya sehingga justru menambah masalah. Terjadi degradasi materi muatan aturan yang lebih tinggi ke aturan yang lebih rendah, artinya perda tersebut tidak memenuhi asas kesesuaian materi muatan dengan jenis peraturan perundang-undangan. Jangan tanya dulu manfaat yang akan diperoleh masyarakat.
Para pembentuk perda harus mampu menerjemahkan dan menafsirkan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan serius menganalisa permasalahan di daerah. Kajian ilmiah untuk menentukan sasaran atau inti masalah hingga solusi pemecahan masalah merupakan keharusan. Ujung kesimpulan kajian ilmiah tidak harus selalu mendukung pembentukan perda tetapi mungkin juga tidak dibentuk perda.
Seberapa jauh Peraturan Daerah tersebut mampu memberikan solusi atau menjadi panduan bagi Pemerintah Daerah pada saat terjadi bencana tidak akan dibahas di sini. Tetapi sebagai sebuah renungan, jika sebuah perda disusun dengan argumen untuk menyelesaikan sebuah masalah maka saat dihadapkan dengan masalah sesungguhnya akan terlihat seberapa banyak perda tersebut memberikan jalan keluar.
Pembentukan perda haruslah benar-benar berdasarkan kebutuhan nyata, bukan sekedar memenuhi target jumlah perda yang harus ditetapkan. Tidak pula karena alasan sudah terlanjur dianggarkan atau untuk menyerap anggaran, sedangkan tujuan-tujuan mulia yang dirumuskan begitu indah dan terbang ke langit hanya menjadi lips service.
Alangkah baik jika RAPERDA yang akan dibahas di DPRD merupakan rancangan yang sudah terkonsep dan terencana dengan baik, melalui kajian ilmiah yang sesungguhnya dan bukan kajian pelengkap agar memenuhi syarat untuk dibahas, mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan di daerah, dan membawa manfaat yang besar bagi masyarakat.

.






BAB III
PEMECAHAN MASALAH

3.1 Subtansi UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
 Pemerintah pada tanggal 15 Januari 2014 telah menetapkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.  Dalam konsideran UU tersebut diisampaikan bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Kemudian bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera
Jika kita pahami dari konstruksi hukum terhadap struktur pemerintahan desa, sebenarnya masih menggunakan konstruksi hukum yang diterapkan selama ini. Hal ini dapat kita telusuri dari teks hukum pada pasal 1 angka UU No 6 Tahun 2014 yang menyatakan, bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa yang dimaksudkan dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, karena di sini ada dua konsep, yakni pertama, penyelenggaraan urusan pemerintahan, kedua, kepentingan masyarakat setempat.
Untuk memahami ini, harus dipahami lebih dahulu apa yang dimaksud dengan desa, apabila memperhatikan secara cermat teks hukum UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa pada pasal 1 angka 1 memberikan batasan tentang desa berikut ini.
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah  yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan rumusan pasal 1 angka 1, terjawablah, bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati. Jadi yang dimaksud penyelenggaraan urusan pemerintahan adalah “untuk mengatur”, untuk mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat.
Dasar yang digunakan adalah berdasarkan (1) prakarsa masyarakat, (2) berdasarkan hak asal usul atau hak tradisional. Pertanyaan siapa yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat? Pertanyaan ini dijawab dalam rumusan pada Pasal 1 angka 3 yang menyatakan, bahwa  Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
Jadi yang berwenang adalah pemerintah desa, yakni Kepala Desa dibantu perangkat desa, sebagai unsur penyelenggaran pemerintahan desa. Ini artinya disamping Kepala desa dan perangkat desa ada unsur lain penyelenggara pemerintahan desa. Siapakah unsur lain dimaksud dalam UU No 6 Tahun 2014 ?
Pasal 1 angka 4 UU No 6 Tahun 2014 menjawab yang dimaksudkan unsur lain, yakni  Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

3.2  Kedudukan Desa dan Kepala Desa dalam Ketatanegaraan Indonesia
Memosisikan kedudukan desa dan Kepala Desa dalam ketatanegaraan Indonesia perlu dipahami sebagai penyelenggaraan urusan yang dilaksanakan dalam rangka pemerintahan dalam arti luas, untuk melayani masyarakat. Perlekatan mengenai ketatanegaraan tampaknya lebih baik dikesampingkan terlebih dahulu karena beberapa alasan. Faktor utama yaitu bahwa persepsi mengenai urusan dan kelembagaan ketatanegaraan berbeda dengan urusan dan kelembagaan pemerintahan. Hal ini dapat dikuatkan oleh penjelasan Bagir Manan bahwa karena konstitusi/Undang-Undang Dasar merupakan kaidah dasar bagi semua bidang hukum, belum tentu kaidah yang diatur merupakan kaidah ketatanegaraan. Begitu pula lembaga-lembaga yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar belum tentu merupakan lembaga yang bersifat ketatanegaraan (Manan: 2009).
 Adapun di dalamnya terdapat distribusi kekuasaan secara vertikal (kekuasaan pemerintah Pusat dan Daerah), terbatas pada satuan pemerintahan mana yang diberikan kekuasaan dalam konstitusi (Anwar: 1999). UUD 1945 sendiri secara eksplist mengatur satuan pemerintahan yang mempunyai pemerintahan daerah hanya Provinsi, Kabupaten, dan Kota (vide Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Kedua). Dengan demikian, kerangka ketatanegaraan perlu dibatasi sebatas pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah, selain tentu saja struktur ketatanegaraan secara fundamental, pembagian wewenang di antara struktur ketatanegaraan secara fundamental, dan jaminan hak asasi manusia (Sri Soemantri: 2006).
 Mengenai kedudukan Desa (atau nama lainnya), Rosjidi Ranggawidjaja menautkannya dari pengakuan dan penghormatan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 kesatuan­kesatuan masyarakat hukum adat serta hak­hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dansesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan Undang­Undang (Ranggawidjaja: 2013).
 Landasan ini memisahkan antara satuan pemerintahan daerah yang diberi otonomi dengan kesatuan masyarakat hukum. Urusan yang dikelola oleh satuan pemerintahan daerah menunjukkan pemencaran kekuasaan, sementara, sepanjang masih ada, urusan yang dikelola oleh Desa merupakan pengakuan. Tentunya tetap dimungkinkan terdapat tugas pembantuan yang diberikan oleh Kabupaten, Provinsi, maupun Pemerintah Pusat.
 Dalam Undang-Undang Desa yang baru (UU No. 6 Tahun 2014), diartikan bahwa:
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1).
 Kedudukan Desa tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 5 undang-undang tersebut, sebagai berikut: “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika”.
 “Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota” (Pasal 5). Ketentuan di atas menegaskan kedudukan Desa sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah. Hal ini pula yang menjadikan Peraturan Desa atas dasar Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 (vide Pasal 3 ayat (7) huruf c) dan UU No. 10 Tahun 2004 (vide Pasal 7 ayat (2) huruf c) sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari peraturan daerah.
 Walaupun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, Peraturan Desa tidak dikategorikan sebagai peraturan daerah berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, walaupun undang-undang tersebut mengakui keberadaan “peraturan yang ditetapkan oleh… kepala desa atau pejabat yang setingkat” (vide Pasal 8 ayat (1)).
 Perlu dicatat pula bahwa karakter Desa sekarang berbeda dengan apa yang diartikan dahulu oleh UU No. 19 Tahun 1965. Dikatakan bahwa “Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri” (vide Pasal 1 UU No. 19 Tahun 1965).
 Mengutip pendapat Bagir Manan, Rosjidi Ranggawidjaja menegaskan bahwa Desa di masa lampau merupakan komunitas sosial, keberadaannya telah ada jauh sebelum Indonesia berdiri. Rosjidi Ranggawjidjaja melanjutkan pendapatnya bahwa “Pemerintahan Desa yang ada sekarang adalah kelanjutan dari Pemerintahan Desa jaman dahulu, hanya saja Pemerintahan Desa sekarang sudah kehilangan “rohnya” sebagai Desa yang mandiri. Desa yang ada sekarang bukan lagi sebagai ”inlandsche gemeenten”, sebagai pemerintahan asli bangsa Indonesia. Pemerintahan Desa sekarang lebih tepat disebut pemerintahan semu atau bayang-bayang (quasi government organization)” (Ranggawidjaja: 2013).
 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah masih mengakui keberadaan pemerintahan desa tetapi juga tidak bermaksud untuk tetap mempertahankan sistem pemerintahan desa ini dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Hal ini menurut Rosjidi Ranggawdjaja (2013) dapat dilihat dari adanya kebolehan untuk mengubah status desa menjadi kelurahan (Pasal 200 Ayat (3)), yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah kabupaten/kota dan menjalankan fungsi dekonsentrasi. Sayangnya, undang-undang ini seolah-olah menempatkan kedudukan kelurahan seolah-olah lebih baik dari desa yang menjalankan desentralisasi dengan adanya syarat tertentu berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah dll apabila suatu desa hendak diubah statusnya menjadi kelurahan. Hal ini menurut Rosjidi Ranggawdjaja (2013) mengarah kepada kehendak untuk dilaksanakannya dekonsentrasi atau sentralisasi.
 Kebijakan penyeragaman yang telah dibangun sejak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desaberlanjut hingga UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, terutama dilihat dari kedudukan serta pengisian jabatan Kepala Desa dan penghasilan Pemerintah Desa. Pertama, kedudukan Kepala Desa adalah sebagai pimpinan Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain (Pasal 25 UU No. 6 Tahun 2014). Walaupun Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa (Pasal 34 (1)), pengesahan (Pasal 37 (5)) dan pelantikan (Pasal 38 (1)) Kepala Desa dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.
 Kedua, pelantikan tersebut linier dengan penghasilan Kepala Desa. Pasal 66 (1) melegitimasi bahwa Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan ditambah dengan jaminan kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah (ayat (4)). Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 66 ayat (2)).
 Selain penghasilan tetap, Kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 66 ayat (3)). Skema sumber pendapatan Kepala Desa tersebut menunjukkan ketergantungan keuangan yang cukup besar bagi penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Gerusan terhadap otonomi Desa pun diperkuat lagi dalam pembentukan Desa. Walaupun belum tentu sifat asal-usul dan hak-hak tradisional masyarakat Desa serta merta hilang karena kebijakan pemekaran Desa, keberadaan Desa secara formal tidak lagi merupakan komunitas sosial yang tumbuh melalui ikatan sosiologis.
 Pengaturan baru tentang Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014 tidak berimplikasi pada perubahan status kepala desa menjadi “pejabat negara”. Hal ini disebabkan kepala desa sejak dahulu, walaupun memimpin satuan pemerintahan yang bersifat otonom (desa) tidak bertindak untuk dan atas nama negara sebagaimana karakter yang melekat pada “pejabat negara”.Namun tetap sebagai pejabat pemerintahan karena merupakan salah satu penyelenggara pemerintahan desa. Penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan antara pejabat negara dan pejabat pemerintahan dapat merujuk artikel Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan.

3.3 Dampak Perubahan Desa Setelah Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Sesungguhnya yang sedang kita upayakan dengan pembuatan udang-undang adalah untuk sebuah “perubahan”. Tentu saja dengan maksud untuk menuju perubahan yang lebih baik. Namun sebelumnya mari kita menelusuri “apa makna perubahan” itu, teori-teori apa yang telah menjelaskan tentang perubahan yang sudah terjadi dan atau diprediksikan akan terjadi di dalam masyarakat. Ada dua ranah besar perubahan yang akan dibahas di sini, yaitu “perubahan sosial” (social change) dan “perubahan kebudayaan” (cultural change). Apa hubungan antar keduanya, apa dimensi pada masing-masing “perubahan” tersebut, dan akhirnya mari kota coba menghubungan antara perubahan yang diharapkan melalui UU no 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa 2014) yang baru dengan kedua jenis perubahan tersebut.
Dampak yang diharapkan dari diberlakukannya UU Desa 2014 adalah suatu perubahan yang lebih baik di dalam masyarakat, dalam hal ini masyarakat di level grassroots, desa. Oleh karena itu perlu didiskusikan di awal apa makna “masyarakat” yang dibayangkan oleh UU Desa 2014 tersebut --tentu dalam hal ini adalah persepsi yang dianut oleh para penyusun UU Desa 2014 tersebut tentang konsep masyarakat. Secara umum para ahli sosial dan perubahan masyarakat menganut dua jenis konsepsi tentang masyarakat, yaitu static perspective dan dynamic perspective. Static perspective mengasumsikan bahwa masyarakat itu bergerak atau berubah secara statis (pelan) sesuai dengan struktur sosial yang dimiliki. Sementara perpective dynamic berasumsi bahwa masyarakat akan selalu bergerak atau berubah secara dinamis, tergantung besar kecilnya faktor eksternal yang ber-”relasi” dengan masyarakat bersangkutan.
Di dalam UU Desa 2014 disebutkan “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat dan sosial budaya masyarakat setempat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia….” (BAB 1 KETENTUAN UMUM, Pasal 1 ayat 5). Istilah-istilah seperti kesatuan masyarakat hukum, hak asal-usul, adat istiadat dan sosial budaya, merupakan sebuah bangunan cultutal yang terejawantahkan dalam sub socio-cultural yang disebut civilization.
Dengan diterbitkannya UU Desa 2014 sesungguhnya yang sedang dikerjakan adalah “melakukan perubahan” untuk “desa” khususnya untuk kemakmuran masyarakat desa. Bahwa untuk kemakmuran masyarakat desa tersebut perlu dirancang sistem organisasi desa yang lebih baik, peraturan pemilihan kepala dan perangkat desa yang lebih baik, pendekatan pembangunan tentang desa secara lebih baik, pengaturan relasi antara desa dengan supra desa lebih baik, penganggaran budget untuk desa secara lebih baik, semuanya memang benar harus diatur. Meskipun demikian, dalam artian bahwa semuanya itu ditujukan untuk “hal yang lebih baik” tentang desa, bisa saja “perubahan” yang diharapkan meleset dari yang diperkirakan karena latar belakang pemikiran teoritis yang kurang matang apalagi hanya didorong oleh “ketergesa-gesaan”.
Model perubahan (social change) yang statis diasumsikan oleh karena perubahan tersebut akan berhadapan dengan “bangunan kultur” yang biasanya lamban untuk berubah. Sementara model perubahan dinamis diasumsi bahwa perubahan tersebut akan mempengaruhi level sosial (relasi kesepakatan-kesepakatan antar individu atau kelompok), dan tidak pada level kultural.
Sistem birokrasi desa berbeda dengan sistem birokrasi negara, seperti ditegaskan di dalam Naskah Akademik UU Desa 2014. Birokrasi negara didisain dan dikelola teknokratis dan modern dari sisi rekrutmen, pembinaan, penggajian (remunerasi), organisasi, tata kerja, tupoksi, dan lain-lain. Birokrasi Desa didisain dan dikelola dengan sistem campuran antara pendekatan tradisional dengan pendekatan modern (teknokratis), tetapi pendekatan teknokratis tidak bisa berjalan secara maksimal antara lain karena gangguan pendekatan tradisonal.
Penjelasan-penjelasan di Naskah Akademik UU Desa 2014 tersebut membuktikan ada perbedaan yang bermula dari “sejarah”, bahwa desa memang berbeda dari negara. Sistem teknokrasi pengelolaan negara tidak bisa diterapkan dalam sistem sosial birokrasi desa. Jika ditelaah UU Desa 2014 dalam sistem tata pemerintahan desa terlihat dengan jelas bahwa desa mau dibentuk menyerupai sistem teknokrasi negara.







BAB IV
PENUTUP

4. 1 Kesimpulan
Kedudukan Desa tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 5 undang-undang tersebut, sebagai berikut: “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan diterbitkannya UU Desa 2014 sesungguhnya yang sedang dikerjakan adalah “melakukan perubahan” untuk “desa” khususnya untuk kemakmuran masyarakat desa. Bahwa untuk kemakmuran masyarakat desa tersebut perlu dirancang sistem organisasi desa yang lebih baik, peraturan pemilihan kepala dan perangkat desa yang lebih baik, pendekatan pembangunan tentang desa secara lebih baik, pengaturan relasi antara desa dengan supra desa lebih baik, penganggaran budget untuk desa secara lebih baik, semuanya memang benar harus diatur.

4.2 Saran
Perubahan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat desa terkait dengan diberlakukannya UU Desa 2014 harus menjadi “agenda utama” kegiatan. Pengucuran besaran dana harus dilakukan secara bertahap (mulai dari sedikit menuju lebih banyak) sesuai dengan perkembangan kapasitas dan ukuran justification cost yang terjadi di dalam masyarakat desa bersangkutan. Samarata tentang dana desa merupakan pendekatan dan pemikiran “paling bodoh” dalam konteks merancang sebuah perubahan sosial dan kebudayaan di desa. Jika prinsip sama rata yang dikedepankan, diiringi kemampuan peningkatan kapasitas yang lamban, maka sesungguhnya tidak lain sedang dilaksanakan “Proyek UU Desa 2014”. Semuanya tidak akan menghasilkan apa-apa selain keterpurukan desa menjadi lebih “tidak berdaya” dan “tidak mandiri”.





DAFTAR PUSTAKA

Buku Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
Buku Qanun Kabupaten Bireuen
http://www.kompasiana.com/emil-e-elip/desa-uu-desa-2014-dan-perubahan-sosial_54f8258ca3331169638b4c2f
Ivan Mubarok. Implementasi Otonomi Desa Menurut UU 32/ 2004. http:// m.politikana.com /baca/ 2011/01/27/ implementasi-otonomi-desa-menurut-uu-no-32-2004
Laporan Kerja Harian (LKH) Kasie Pemerintahan Kecamatan Makmur
Materi Pembahasan Pelatihan Kasie Pemerintahan se-Kabupaten Bireuen yang diadakan di Banda Aceh pada tahun 2008
Ridwan HR. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Romi  Librayanto.  2008.  Trias  Politica  Dalam  Struktur  Ketatanegaraan Indonesia. Makassar: PuKAP Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194






Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH PENGETAHUAN DASAR KOMPUTER

PENGETAHUAN DASAR KOMPUTER DISUSUN OLEH:               NAMA              :                NPM                  :                MK                    : APLIKASI KOMPUTER               DOSEN             :                                       , M.Kom            ...

LAPORAN OBSERVASI DAN WAWANCARA TK AL- REZA

LAPORAN OBSERVASI DAN WAWANCARA TK AL- REZA DISUSUN OLEH: NAMA              :          NPM                 :          DOSEN             :           PRODI              :         PG-PAUD FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS ALMUSLIM BIREUEN 2019 KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warohmatullahi wabaraokatuh Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga dapat melaksanakan observasi dan menulis laporan hasil observasi tepat pada waktunya. Dan ucapan terimakasi...

STUDI KASUS MISKOMUNIKASI ANTARA PIMPINAN DAN KARYAWAN PT CAHAYA MITRA UTAMA

STUDI KASUS MISKOMUNIKASI ANTARA PIMPINAN DAN KARYAWAN PT CAHAYA MITRA UTAMA DISUSUN OLEH : NAMA            :  NPM                :  MK                  : KEPEMIMPINAN PRODI            : ADMINISTRASI BISNIS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ALMUSLIM BIREUEN 2019 Studi Kasus : Miskomunikasi antara pimpinan dan karyawan PT Cahaya Mitra Utama Miskomunikasi adalah salah satu akibat dari proses komunikasi yang tidak bisa diterima baik oleh kedua pihak, yang menyebabkan tujuan atau misi dari komunikasi tersebut tidak tercapai. Miskomunikasi biasa terjadi pada komunikasi antara kedua pihak. Miskomunikasi biasanya dikarenakan salah satu pihak tidak mengerti de...